Jumat, 16 Desember 2011

Tawassul, Tabarruj, dan Safaat Maslah Kontemporen Keperawatan dalam perspektif Islam.




  1. Tawassul
Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhai-Nya, lebih jelasnya adalah kita melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah dan surga-Nya.
Selain definisi tawasul  di atas, berikut pengertian dari Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at, al-wasilah yang diperintahkan dalam al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. (Tafsir Ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)
Mengenai ayat diatas Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata,”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).”
Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut,”Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang di ridhoi-Nya.” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.
  1. Tawassul Sunnah
ü  Pertama: Bertawassul dengan menyebut asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a. Allah Ta’ala berfirman,
“Hanya milik Allah-lah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad :3712)
ü  Kedua: Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim)
ü  Ketiga: Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125)
ü  Keempat: Bertawassul dengan meminta doanya orang shalih yang masih hidup. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali).”
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Jika Engkau menghendaki aku akan berdoa untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu.”
Orang tersebut tetap berkata,”Do’akanlah.”
Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan,
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu bersama dengan nabi-Mu, Muhammad, seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doa)ku, dan jadikanlah aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadits) berkata,”Laki-laki itu kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
ü  Kelima: Bertawassul dengan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’Berimanlah kamu kepada Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193)
ü  Keenam: Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)
  1. Tawassul Bid’ah
ü  Pertama: Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, “Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari: 1010)
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi, akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam –yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.
ü  Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan. Contoh,”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir Jailani, ampunilah aku.”
ü  Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur orang shalih. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan perantara menuju kesyirikan.
  1. Tawassul Syirik
Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.
Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan “tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah

  1. Tabarruj
Berikut beberapa firma Allah SWT mengenai Tabarruj diantaranya sebagai berikut;
"Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, supaya mereka mengenakan jilbab ke seluruh badannya, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal; kerana itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Ahzab: 59)
Di dalam surah an-Nur, ayat 31:
"Katakanlah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa keliahtan padanya, dan hendaklah mereka melepaskan kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka.."
 Berdasarkan seluruh nash-nash mengenai aurat dan berhias, di hadapan kita sekarang ini ada beberapa persoalan yang perlu dipecahkan, antaranya ialah:
·         Batasan aurat - Anggota asas yang disepakati oleh para ulamak agar ditutup ialah seluruh tubuh badan kecuali muka dan dua telapak tangan.
·         Apakah muka termasuk aurat - Muka pula telah diperselisihkan di kalangan mereka, ada yang kata ia adalah aurat dan ada yang kata bukan aurat.
Kalau, kita pilih pendapat yang mengatakan bahawa muka adalah aurat Habis cerita. Soal gincu, bedak, losyen dan celak dan sebagainya sudah tentu tak timbul. Ia nyata haram dipamerkan di hadapan lelaki ajnabi. Tetapi, bagaimana jika kita memilih bahawa muka itu bukan aurat - kebanyakkan kita memilih pendapat ini -, di mana kedudukan celak, gincu, bedak dan bla.. bla..bla.
Sekarang ini kita pilihlah kononnya bahawa muka itu bukan aurat Tetapi, sebelum itu lebih baik kita bincangkan dahulu mengenai masalah tabarruj, yang sudah tentu berkaitan dengan soal muka bukan aurat.
yang di maksudkan dengan tabarruj di dalam firman Allah:
"dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkahlaku (tabarruj) seperti orang-orang jahiliah dahulu (pertama)". (Al-Ahzab:33)
Ayat di atas sebagai irsyad ( petunjuk/tunjuk ajar) kepada isteri-isteri Nabi s.a.w. agar tetap di rumah dan tidak bertabarruj sebagaimana orang-orang jahiliyah dahulu.
Tabarruj dikatakan sebagai berjalan dengan berlenggang-lenggok atau memperelokkannya. Ada juga yang mengatakan bahawa tabarruj ialah melepaskan tudung kepalanya tetapi tidak mengikat/mengetatkannya, lalu terlihatlah rantai leher, anting-anting dan lehernya. Lagi satu pendapat lain mengatakan, tabarruj ialah memperlihatkan keelokkan/kecantikkannya yang sepatutnya wajib ditutup.
Tabarruj berasal dari kata BARAJUN, bererti luas. Ada juga  yang mengatakan ia berasal dari kata BURJUN yang bererti tinggi.  lihat kembali ayat al-Quran: ".orang-orang jahiliyah dahulu."
Tabarruj yang dikaitkan dengan orang-orang jahiliyah dahulu. Di dalam tafsir al-Qurthubi menyatakan beberapa pendapat mengenainya:
ü  Iaitu masa antara Adam dan Nuh a.s., ini adalah pendapat al-Hakam bin Uyainah.
ü  Ibnu Abbas berpendapat: Masa di antara Nuh dan Idris a.s.
ü  Al-Kalbi: Masa di antara Nuh dan Ibrahim a.s.
ü  Jamaah: Masa di antara Musa dan Isa a.s.
ü  Abu Aliyah: Masa di antara Daud dan Sulaiman a.s.
ü  Al-Sya'bi: Masa di antara Isa a.s. dan Muhamad s.a.w.
Namun semua pendapat itu tidak disandarkan dengan satu sumber yang kukuh dan sahih. Cuma yang pasti, semua mereka di atas bersepakat mengatakan bahawa jarak masa antaranya dan masa Nabi Muhamad dibangkitkan sebagai Rasul adalah jauh (jangkamasa yang begitu lama).  Dan, apabila al-Quran menyebutkan "jahiliyah dahulu" - dahulu/lama/pertama - bermaksud di sana ada yang dikatakan sebagai `jahiliah baru' atau `jahiliyah kedua'.
Bila masa jahiliyah kedua berada? Iaitu selepas jahiliyah pertama dan sedikit masa sebelum kebangkitan Nabi kita Muhamad s.a.w.
Mengapa jahilyah pertama/dahulu ini dikaitkan dengan tabarruj? Buruk sangatkah mereka ini? Hodoh sangatkah perangai depa ni? Ya, gambarannya lebih kurang begini:
Perempuan-perempuan jahiliyah pertama/awal pakaiannya - memakai baju dari lu'lu', atau baju dari mutiara dan intan yang tidak berjahit kedua belah, dan berpakaian tipis yang menampakkan tubuh badannya. Dengan berpakaian begini, mereka akan berjalan di jalan-jalan mempamerkan diri mereka kepada kaum lelaki. Dan, dapat dirasakan bahawa zaman berkenaan adalah zaman yang penuh dengan kemewahan.
Era jahiliyah kedua yang akan berhubung dengan era kebangkitan Muhamad sebagai rasul tidaklah sampai ke peringkat begitu teruk. Namun ada juga sedikit sebanyak tabarruj yang berlaku, hingga kadangkala sampai ke peringkat telanjang terus. Ini dapat dibuktikan melalui hadis riwayat Muslim, bagaimana kaum wanita zaman itu bertawaf dalam keadaan telanjang bulat.
Sekarang ini jelaslah sudah mengapa Allah mengaitkan al-jahiliyah al-`Ula (jahiliyah pertama/dahulu) dengan tabarruj. Dan, dengan penjelasan di atas tidaklah bermakna yang terlarang ialah bertabarruj seburuk orang-orang jahiliyah pertama, kalau kurang daripada itu tidak mengapa. Tak apalah kalau tabarruj sikit-sikit. Ini adalah fahaman yang salah, kerana Allah menyebutkan sifat-sifat tabarruj jahiliyah pertama adalah bertujuan memberi penjelasan realiti yang berlaku ketika itu, bukannya mahu mengaitkan pengecualian hukum selain daripada itu. Ia lebih berbentuk penjelasan tentang keji dan berlawanannya perbuatan itu dengan citarasa serta naluri kemanusiaan.
Perlu diingatkan bahawa maksud tabarruj yang dilarang di dalam Islam ialah membuka aurat - berdasarkan kepada siapa dia berhadapan. Kalau di hadapan dengan lelaki asing, apa yang perlu ditutup. Jika tidak memenuhi kehendak ini, maka dia sudah tergolong di dalam perempuan yg bertabarruj. Begitulah seterusnya ketika di hadapan mahram, orang gaji dsbnya
Mari kita lihat lagi firman Allah:
“Katakanlah kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa kelihatan padanya, dan hendaklah mereka melepaskan kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka.. (an-Nur, ayat 31)
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahawa para ulamak berselisih pendapat mengenai, apakah muka itu aurat atau bukan. Dan ayat di atas telah menjadi hujah kepada kedua-dua kelompok dengan penafsiran yang berbeda.
Kita ambil sedikit petikan ayat: “..dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa kelihatan padanya”.
Terjemahan ayat : kecuali yang biasa kelihatan padanya.. dapat juga diterjemahkan: kecuali apa yang zahir (illa ma zahara).
Pada ayat ini Allah Taala melarang wanita mempamirkan perhiasan, kecuali apa yang zahir. Persoalannya di sini ialah, apa maksud perhiasan zahir yang boleh dipamirkan? Jadi, dapat difahami bahawa perhiasan ada dua:
1.      Yang zahir/nyata
2.      Yang tidak zahir/nyata (batin/dalaman/tersembunyi)
Apakah perhiasan zahir? Apakah pula perhiasan yang tidak nyata? Para ulamak yang mengatakan muka itu adalah aurat, mereka menafsirkan bahawa perhiasan yang zahir itu ialah pakaian itu sendiri. Bila wanita berpakaian, bertudung dan menutup muka, maka itulah dia maksud perhiasan yang zahir. Perhiasan yang tidak nyata pula ialah, rantai leher, gelang, anting-anting dsbnya..
Manakala menurut ulamak yang berpendapat muka itu bukan aurat menafsirkan bahawa maksud perhiasan yang zahir yang boleh diperlihatkan di hadapan lelaki ialah celak dan cincin. Ada yang menambah telapak tangan. Ada yang tambah warna telapak tangan, iaitu pewarna yang dibubuh di telapak tangan (termasuk kuku). Dan, macam-macam lagilah.. tetapi di sekitar itulah. Perhiasan yang tersembunyi pula ialah rantai leher, anting-anting dsbnya.
Kitab-kitab tafsir berikut ada menjelaskan pendapat-pendapat berkenaan:
1.      Jamiul Bayan Al-Thabari
2.      Ahkamul Quran AL-Jashas
3.      Al-Wajiz fi Tafsiril Quran al-Aziz Al-Wahidi
4.      Maalimatut Tanzil AL-Baghawi
5.      Tafsir al-Kasyaf Al-Zamakhsyari
6.      Ahkamul Quran Ibnul Arabi
7.      Al-Muharrir al-Wajiz Ibnu Athiyah
8.      Zadul Masir Fi Ilmit Tafsir Ibnul Jauzi
9.      Al-Tafsir al-Kabir Al-Fakhrur Razi
10.  Al-Jami li Ahkamil Quran Al-Qurthubi
11.  Tafsir al-Baidhawi
12.  Lubabut Tawil Fi Maanit Tanzil Al-Khazin dan sebagainya.
Pembahasannya lebih kurang sama dalam menafsirkan `perhiasan yang zahir. 
Berikut ini adalah apa yang tersebut di dalam Zadul Masir fi Ilmit Tafsir oleh Ibnul Jauzi:
Maksud `perhiasan yang zahir/apa yang biasa dilihat, terdapat tujuh pendapat, iaitu:
1.      Ia bermaksud pakaian. Ini adalah riwayat dari Abu Ahwash dari Ibnu Masud.
2.      Bererti telapak tangan, cincin dan muka - Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas
3.      Bererti celak dan cincin Juga dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.
4.      Bererti gelang, cincin dan celak Al-Misywar bin Mukhrimah.
5.      Bererti celak, cincin dan pewarna telapak tangan Pendapat dari Mujahid.
6.      Bererti cincin dan gelang Dari al-Hasan.
7.      Bererti celak, cincin dan pewarna telapak tangan dari al-Dhahhak.
Itulah pendapat mereka tentang maksud perhiasan zahir yang biasa dilihat. Berdasarkan pendapat Ibnu Abbas, Al-Misywar bin Mukhrimah, Mujahid, dan al-Dhahhak dan al-Hasan dapat kita simpulkan bahawa yang boleh dipamerkan ialah perhiasan yang tidak mungkin diselindung yang memang biasa dipakai oleh para wanita. Kalau perhiasan di muka apa lagi kalau bukan celak. Kalau di telapak tangan apa lagi kalau bukan cincin. Cuma ada beberapa ulamak yang mengatakan bahawa muka itu sendiri adalah perhiasan. Dan telapak tangan itu sendiri adalah perhiasan. Jadi, mereka tidak memasukkan celak dan cincin sebagai perhiasan yang boleh dipamerkan.
Mereka yang memasukkan celak dan pewarna telapak tangan sebagai perhiasan yang boleh dipamerkan di hadapan lelaki ajnabi tidaklah dihadkan terhadap dua perkara itu sahaja. Ia disebutkan hanyalah sebagai wakil dari perhiasan-perhiasan lain yang biasa digunakan pada muka atau telapak tangan. Ia berdasarkan adat, tradisi dan kebiasaan satu-satu kelompok masyarakat.  Berikut ini adalah antara perhiasan yang ada dan biasa digunakan oleh para wanita pada zaman Rasulullah s.a.w atau tradisi arab dahulu:
1.      Khidhab Pewarna untuk tangan
2.      Shufrah Pewarna kuning untuk wajah
3.      Kalkun Pewarna untuk memerahkan wajah
4.      Isfidaj Pewarna putih untuk wanita berhias.
5.      Celak Berhias pada mata
Berikut ini adalah sebahagian dalil kewujudan perhiasan di atas:
Dari Zainab binti Abu Salamah, dia berkata: Ketika datang berita kematian Abu Sufian dari Syam, Ummu Habibah meminta diberikan wangi-wangian berwarna kuning pada hari yang ketiga. Lalu dia mengusapkannya pada kedua pipinnya dan kedua lengannya.
Dia berkata: Sesungguhnya aku benar-benar tidak memerlukan ini, kalaulah bukan kerana aku pernah mendengar Nabi s.a.w. bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk berkabung atas mayat lebih dari tiga hari, kecuali atas suami, maka dia berkabung atasnya empat bulan sepuluh hari. (HR Bukhari & Muslim)
Dari Ibnu Abbas r.a., bahawa seorang wanita datang kepada Rasulullah s.a.w. untuk berbaiah kepadanya, tetapi perempuan itu tidak ber ikhtidab, sehingga baginda tidak mahu membaiahnya melainkan setelah ber-ikhtidab (HR Abu Daud)
Ikhtidab ialah sejenis pewarna yang biasa digunakan pada telapak tangan pada zaman itu.
Dari Abu Hurairah r.a katanya: Telah bersabda Rasulullah s.a.w.: Wangi-wangian lelaki adalah apa yang jelas baunya dan tersembunyi warnanya. Dan perhiasan wanita ialah apa yang jelas warnanya dan tersembunyi baunya (HR al-Tarmizi)
Dari Imran bin Husin, bahawa Nabi Allah s.a.w. bersabda: ingatlah bahawa wangi-wangian lelaki adalah bau tanpa warna. (HR Abu Daud)
Dari Ummu Athiyah, dia berkata: Adalah kami dilarang untuk berkabung terhadap seorang mayat lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami, maka empat bulan sepuluh hari. Kami tidak boleh bercelak, berwangi-wangian dan memakai pakaian bercelup. (HR Bukhari & Muslim)
Apabila kita menerima hujah yang mengatakan bahawa perhiasan yang zahir atau yang biasa dilihat itu adalah celak, gincu, bedak dan segala suku-sakatnya, maka perlu kita ketahui juga batas-batas yang perlu dipelihara. Iaitu:
1.      Memelihara niat dan tujuan berhias. Tidak bertujuan untuk menarik pandangan dan perhatian lelaki ajnabi.
2.        Dari segi praktiknya hendaklah bertepatan dengan niatnya. Iaitu tidak berhias secara berlebih-lebihan hingga atau yang dapat menarik perhatian serta menggugah perasaan lelaki ajnabi. Seperti bercelak dengan cara dan gaya yang dapat menarik perhatian. Atau bergincu dengan warna yang begitu menyerlah merah menyala-nyala. Atau berbedak dengan bedak yang berwarna warni. Di tambah dengan keharuman yang menyemarak. Atau memanjangkan kuku. Atau sebagainya.
3.      Tidak dari bahan yang mengeluarkan bau wangi dan harum menyemarak serta tersebar. Boleh dari bahan yang wangi tetapi yang tersembunyi baunya.
Jadi berdasarkan uraian mengenai Tabarruj di atas dapat simpulkan sebagai berikut;
1.      Sebahagian ulamak mengatakan muka itu adalah aurat. Sebahagiannya mengatakan muka bukan aurat.
2.      Tabarruj jahiliyah yang dilarang di dalam Islam ialah membuka aurat di hadapan meraka yang haram melihatnya.
3.      Kebanyakkan ulamak menyatakan bahawa maksud firman Allah: kecuali apa yang biasa dilihat. Adalah sebagai celak dan cincin. Ada yang menambah dengan gelang tangan dan pewarna tangan.
4.      Bersolek pada muka dan telapak tangan (termasuk kuku) adalah dibenarkan tetapi dalam batasan-batasan umum yang telah ditetapkan syarak.

  1. Safaat Maslah Kontemporen Keperawatan dalam perspektif  Islam

a.       Konsep Safe Abortion Adalah Batil
Konsep safe abortion ini batil, sebab aborsi tetap haram walau pun aman. Aborsi secara umum adalah haram baik dilakukan secara tidak aman maupun secara aman. Tidak ada bedanya dari segi keharaman, sebab tidak dalil syariah yang membolehkan aborsi yang aman. Kaidah ushul fiqih mengatakan :
Al-’aam yabqaa ‘ala ‘umumihi maa lad yarid dalil at-takhshish
(Lafazh/dalil umum tetap dalam keumumannya selama tidak dalil yang mengecualikannya).
Dalam hal ini dalil-dalil yang mengharamkan aborsi (seperti QS Al An’aam : 151, QS Al-Israa : 31) adalah dalil umum, dan tidak ada dalil yang mengecualikan untuk aborsi aman.
Maka aborsi secara umum tetap haram.
Kebatilan konsep safe abortion ini dapat dianalogikan dengan haramnya zina atau daging babi. Secara umum, zina hukumnya haram, baik dilakukan secara tidak aman (misal dengan resiko PMS/Penyakit Menular Seksual yang tinggi) maupun secara aman, misalnya dengan menggunakan kondom. Demikian pula secara umum daging babi hukumnya tetap haram, apakah daging babi itu mengandung flu burung atau bebas flu burung sama sekali.
Maka dari itu, konsep safe abortion adalah konsep batil karena bertentangan dengan Islam secara total. Menghalalkan safe abortion sama saja dengan membuat hukum sendiri, padahal hanya Allah SWT yang berhak membuat hukum. Firman Allah SWT (artinya) :
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’aam [6] : 57)
b.      Tidak Boleh Mengurangi AKI dengan Jalan Aborsi
Islam tidak menyetujui prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (the end justifies the means) yang sangat sekularistik itu. Prinsip Machiavelis ini sangat bertentangan dengan kaidah hukum Islam :
Laa yutawashshalu ilal halal bil haram
(Tidak boleh menuju yang halal melalui jalan yang haram) (Lihat Ahmad Al-Mahmud, Ad-Da’wah ila Al-Islam, Beirut : Darul Ummah, 1995, hal. 288). Dalam redaksi lain tapi maknanya sama, terdapat kaidah berbunyi :
Laa yajuuzu irtikabu mahzhuurin li at-tawashshulu ila mubaahin
(Tidak boleh melakukan yang haram untuk mencapai sesuatu yang mubah) (Lihat M. Khair Haikal, Al-Jihad wal Qital, Juz II, Beirut : Darul Bayariq, 1996, Juz II, hal. 1337)
c.        Legalisasi Aborsi Adalah Menghalalkan Yang Haram
Melegalisasi aborsi bukan sekedar bertentangan dengan syariah Islam, namun juga sudah menyentuh wilayah yang sensitif, yaitu Aqidah Islam. Mengapa? Sebab legalisasi aborsi secara langsung atau tidak berarti menghalalkan zina (free sex) dan menghalalkan pembunuhan (aborsi). Padahal menghalalkan yang haram atau sebaliknya mengharamkan yang halal adalah perbuatan syirik yang dapat merusak syahadat seorang muslim. Na’uzhu billah min dzalik. (Lihat Said Hawwa, Al Islam, (Jakarta : GIP, 2004) hal. 106).
Hal itu dikarenakan, menetapkan halal haramnya sesuatu adalah hak Allah semata, sesuai firman-Nya (artinya) :
“Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS Al-A’raaf [7] : 54)
Maka dari itu, manusia yang menghalalkan yang haram atau yang mengharamkan yang halal, berarti telah mengangkat dirinya sebagai tuhan0tuhan selain Allah. Manusia seperti itu telah menjadi sekutu Allah. Allah SWT berfirman (artinya) :
“Mereka itu (kaum Yahudi dan Nasrani) menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS At-Taubah [9] : 31)
Ayat ini pernah dibacakan oleh Rasulullah SAW kepada Ketika Adi Bin Hatim (saat masih beragama Kristen). Maka Adi bin Hatim berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani itu tidak menyembah orang alim dan rahib mereka.” Maka Nabi SAW menjawab,”Benar! Tapi mereka mengharamkan yang halal dan mengharamkan yang halal, lalu kaum mereka mengikutinya. Itulah bentuk penyembahan kaum Yahudi dan Nasrani kepada pemuka agama mereka.” (HR. Tirmidzi) (Lihat Yusuf Al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), (Surabaya : PT Bina Ilmu, 1990), hal. 19-21.)
Maka dari itu, legalisasi aborsi di samping melawan Syariah Islam, juga melawan Aqidah Islam. Piha-pihak yang pro aborsi jika mereka muslim, dan tahu benar bahwa upaya legalisasi aborsi adalah bertentangan dengan nash yang qath’i (pasti) tentang haramnya zina (QS 17:32) dan haramnya pembunuhan (QS 6:151 dan 17:31), maka tak diragukan lagi, mereka akan menjadikan orang murtad dan musyrik yang telah keluar dari agama Islam !
d.       Legalisasi Aborsi Adalah Agenda Global Barat
Legalisasi aborsi bukan sekedar masalah kesehatan reproduksi lokal Indonesia, tapi sudah termasuk salah satu pemaksaan gaya hidup kapitalis sekuler yang selalu dipropagandakan negara-negara Barat yang kafir, terutama Amerika Serikat, melalui badan-badan dunia seperti PBB. Jadi, upaya legalisasi aborsi bukan inisiatif murni pihak-pihak yang pro aborsi, melainkan sudah menjadi agenda global Barat untuk mensekulerkan umat Islam di seluruh dunia.
Hal itu dapat dibuktikan dari fakta bahwa isu legalisasi aborsi telah menjadi isu global yang diserukan lembaga-lembaga internasional kepada pemerintah di setiap negara.
v  Jaminan Kesehatan Masyarakat dalam Syariah Islam
Dalam Syariah Islam, negara Khilafah Islam wajib memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya, yaitu :
(1) pendidikan,
(2), keamanan, dan
(3) kesehatan.
(Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, 1963, hal. 177).
Tiga kebutuhan dasar (al-hajat al-asasiyah) itu wajib diberikan oleh Khilafah kepada rakyatnya secara cuma-cuma, sebab itu semuanya adalah hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan dari khalifah (negara). Rasulullah SAW bersabda :
‘Imam (khalifah) adalah ibarat penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).’(HR. Muslim)
Dalil khusus yang berkaitan dengan wajibnya negara menjamin kesehatan rakyatnya, adalah bahwa syariah Islam telah memerintahkan menghilangkan setiap bahaya (dharar), termasuk bahaya penyakit. Rasulullah SAW bersabda :
‘Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri atau bagi orang lain.’
Maka dari itu, negara wajib menjamin kesehatan rakyatnya, sebab jika tidak, akan menimbulkan bahaya, padahal Islam telah mewajibkan untuk menghilangkan setiap bahaya. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, 1963, hal. 180).
Dalil lainnya bahwa negara wajib menjamin kesehatan rakyatnya, adalah bahwa Rasulullah SAW pernah diberi hadiah berupa seorang tabib (sekarang dokter), tapi beliau lalu menjadikan tabib itu sebagai hak seluruh kaum muslimin, bukan hak beliau sendiri. Ini berarti kesehatan adalah urusan umum yang wajib dipenuhi negara atas rakyatnya (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, 1963, hal. 177).
Meski demikian, syariah Islam tidak melarang adanya pelayanan kesehatan yang berasal dari non pemerintah, yaitu yang dilakukan oleh dokter atau rumah sakit swasta dengan memungut biaya. Hal ini dibolehkan karena menerapkan hukum Ijarah (memberikan jasa dengan imbalan) yang berlaku umum, di samping terdapat dalil khusus untuk hal tersebut. Dalil ini adalah hadits yang menjelaskan bahwa seorang dokter dibolehkan memungut biaya atas jasa yang diberikannya kepada pasien.
Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW pernah memanggil seorang anak muda untuk melakukan hijamah (pembekaman) dan Nabi SAW memberikan kepadanya satu atau dua sha` makanan.’ (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, 1963, hal. 180).
Selain pelayanan kesehatan dari negara, sejarah juga mencatat adanya pelayanan kesehatan swasta. Tercatat dalam sejarah adanya macam-macam waqaf dari orang kaya untuk berbagai keperluan, di antaranya adalah untuk membangun rumah sakit. (Musthafa Husni As-Siba’i, Kehidupan Sosial Menurut Islam, hal. 405).
Di rumah sakit swasta itu juga disediakan pengobatan jiwa (psikoterapi). Di Tripoli (Libanon) pernah ada rumah sakit swasta yang menggaji dua orang yang pekerjaannya secara khusus adalah memberi sugesti kepada orang yang sakit bahwa kesehatannya makin membaik. Di rumah sakit Sultan Qalawun di Kairo pernah ada pula pertunjukan lawak bagi para pasien agar mereka terhibur. (Musthafa Husni As-Siba’i, Kehidupan Sosial Menurut Islam, hal. 407).
Namun yang perlu diperhatikan, jaminan kesehatan yang diberikan Islam kepada rakyatnya, tentu tidak lepas dari syariah Islam. Negara tidak akan pernah mengizinkan aborsi tanpa alasan yang dibenarkan syariah, misalnya.
Syariah Islam itu akan otomatis sudah masuk (include) dalam sistem kesehatan yang secara tata kenegaraan dilaksanakan oleh Jihaz Idari (Biro Pelayanan Umum) dalam negara Khilafah. Sistem kesehatan ini tersusun dari 3 (tiga) unsur komponen sistem :
Pertama, peraturan, baik peraturan berupa Syariah Islam maupun peraturan teknis administrative, Kedua, sarana dan peralatan fisik, seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya dan Ketiga, SDM (sumber daya manusia), sebagai pelaksanan sistem kesehatan, meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hal. 148)
Adapun pelayanan kesehatan yang diberikan, wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam, yaitu :
Pertama, sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit dan rumit yang justru menyulitkan),
Kedua, cepat dalam pelayanan (bukan berlambat-lambat dan santai yang akan menghabiskan waktu rakyat)
Ketiga, profesional dalam pelayanan (bukan dikerjakan oleh orang yang tidak kompeten). (Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, hal. 262).
Dapat ditambahkan bahwa, jaminan kesehatan masyarakat yang diberikan Islam, tidak dapat dipisahkan dengan sistem-sistem lainnya dalam masyarakat Islam, seperti sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan sistem sosial.
Jika keseluruhan sistem Islami tersebut berjalan baik dan menerapkan syariah Islam, insya Allah sistem kesehatan akan dapat memberikan jaminan kesehatan yang optimal bagi rakyat, termasuk mengurangi AKI (Angka Kematian Ibu).
Agar semua sistem itu terjamin dapat melaksanakan syariah Islam, dasar negaranya haruslah Aqidah Islam, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Di sinilah masalahnya, sebab dasar negara dari seluruh negeri-negeri di seluruh Dunia Islam saat ini adalah paham sekularisme yang berusaha menceraikan agama Islam dari perannya serbagai pengatur segala urusan kehidupan.
v  Kesehatan Reproduksi Dalam Islam
Kesehatan Reproduksi didefinisikan sebagai “suatu keadaan utuh kesejahteraan fisik, mental, dan sosial dari penyakit dan kecacatan dalam semua hal yang berhubungan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.” (Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia, Jakarta : Depkes RI dan WHO, 2003, hal. 2,3,17-20, 63-71)
Dapatkah syariah Islam menerima definisi tersebut? Jawabnya : dapat, asalkan kesehatan reproduksi itu diletakkan dalam suatu sistem kesehatan berdasarkan syariah Islam, bukan dalam sistem kesehatan saat ini yang berdasarkan nilai-nilai sekuler yang kufur.
Sekularisme adalah paham yang menolak aturan agama dalam kehidupan publik (termasuk sektor kesehatan). Agama dipandang hanya sekedar urusan pribadi menyangkut hubungan vertikal manusia dengan tuhan.
Setelah agama dicampakkan agama dari perannya sebagai pengatur kehidupan, lalu siapa yang mengatur kehidupan? Jawabnya, manusia sendiri, bukan agama (Tuhan). Jadi, tuhan tidak dibolehkan mengatur hidup manusia, yang boleh mengatur adalah manusia itu sendiri.
Dari titik itulah, lahir paham kebebasan (freedom/liberalisme, al-hurriyat) yaitu paham yang mengatakan tidak adanya keterikatan manusia dengan suatu nilai/norma pada saat manusia melakukan perbuatan (‘adamu al-taqayyudi bi syai`in ‘inda al-qiyaami bi al-‘amal) (Abdul Qadim Zallum, Kayfa Hudimat Al-Khilafah, 1994).
Paham kebebasan itu antara lain adalah kebebasan berperilaku (al-hurriyat al-syakhshiyyah) yang mengatakan bahwa manusia adalah pemilik tubuhnya sendiri. Maka, manusia boleh dan berhak mengatur dan memperlakukan organ-organ tubuhnya sendiri sesuka-suka dia. Termasuk tentunya di sini adalah organ-organ tubuh yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, misalnya vagina, rahim, dan sebagainya. Hubungan seksual boleh dengan siapa saja, asal aman, sehat, dan higienis. Aborsi boleh saja asalkan sehat dan aman.
Jadi, dalam masalah ini, agama apalagi tuhan dianggap tidak ada (in-exist) dan kalau pun dianggap ada, tidak dibolehkan mengatur hidup manusia termasuk tubuh manusia. Beginilah cara berpikir kaum sekuler yang anti agama.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa jika kesehatan reproduksi diletakkan dalam sistem nilai sekularisme seperti kebebasan (liberalisme) dan pragmatisme, maka kesehatan reproduksi akan mencampakkan hukum Islam dan hanya menjadi pembenaran bagi berbagai perilaku bejat, misalnya, perzinaan (free sex). Perzinaan akan semakin subur jika aborsi dibolehkan secara hukum. Demikian pula aborsi itu sendiri akan dibolehkan untuk kasus-kasus aborsi yang diklaim “boleh” dalam etika kedokteran sekuler, padahal haram menurut syariah Islam. Yang seperti ini misalnya aborsi karena kasus incest, janin dipastikan cacat, perkosaan, tuntutan karier, kegagalan kontrasepsi, dan sebagainya. Aborsi untuk kasus-kasus tersebut haram menurut hukum syariah Islam, sebab tidak terdapat dalil syar’i yang membolehkannya sebagai perkecualian dari hukum umum haramnya aborsi.
Maka dari itu, kesehatan reproduksi tidak boleh dilepaskan dari tuntunan dan pedoman syariah Islam, agar kesehatan reproduksi tidak menjadi sistem liberal yang liar yang hanya cocok untuk binatang ternak (seperti babi) atau orang-orang yang tidak beragama.
Jadi, konsep kesehatan reproduksi dapat diterima dan dilaksanakan sepanjang sesuai dengan syariah Islam. Jika bertentangan dan malah menghancurkan tatanan nilai Islam (Aqidah dan Syariah), maka kesehatan reproduksi wajib hukumnya ditolak, digagalkan, dan dicabut sampai ke akar-akarnya.
Sistem kesehatan itu sendiri secara umum merupakan salah satu dari sekian sistem sosio-kultural yang ada dalam masyarakat, seperti sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan sebagainya. Setiap sistem sosio-kultural empiris (empirical socio-cultural system) yang ada dalam masyarakat, tersusun dari 3 (tiga) komponen yaitu :
Pertama, nilai-nilai, norma ideal, atau suatu pandangan hidup (values or ideals or a system of meanings). Komponen pertama ini jelas terkait dengan pandangan hidup tertentu atau ideology-oriented/value bound. Dalam sistem sosio kultural Islam, komponen pertama ini adalah Aqidah Islam beserta segala aturan syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam itu. Dalam sistem sosio kultural Barat, komponen pertama ini adalah sekularisme dan segala nilai atau konsep yang lahir dari sekularisme itu. Kedua, sarana atau instrumental fisik (a causal system of empirical vehicles and instrumentalities), misalnya komputer, bangunan gedung, buku, dan segala produk sains dan teknologi. Komponen kedua ini tidak bersifat ideology-oriented, tapi bersifat universal.
 Pada poin ini sarana-sarana fisik yang sama modernnya bisa digunakan oleh dua sistem sosio-kultural yang berbeda ideologinya. Sistem sosio-kultural Islam boleh mengadopsi sarana modern selama tidak bertentangan dengan syariah. Dan Ketiga, manusia sebagai pelaksana sistem (human agents), misalnya guru dan murid (dalam sistem pendidikan), atau dokter dan perawat (dalam sistem kesehatan). Komponen ketiga jelas terkait dengan pandangan hidup. Dalam sistem sosio kultural Islam, human agents ini wajib menjalankan profesinya atau berperilaku sesuai syariah Islam, walaupun dia non-muslim. Profesionalitas dan norma syariah tidak dapat dipisahkan (unseparable). Dalam sistem sosio kultural Barat, human agents ini hanya mementingkan profesionalitas, tapi tidak ada keharusan untuk terikat dengan norma agama alias liberal. Jadi, profesionalitas bisa terpisah dari norma syariah. (Lihat : S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, New Delhi : Goodwork Books, 2002, hal. 148 & 162).
Jika teori umum tentang sistem sosio kultural itu kita gunakan untuk menggagas sistem kesehatan Islam, maka dapat dikatakan bahwa sistem kesehatan Islam itu memiliki satu kesamaan dengan sistem kesehatan Barat pada komponen kedua yang bersifat universal, yakni dari segi sarana dan instrumental fisiknya, termasuk juga dalam hal ini ilmu kedokterannya sendiri. Sebab ilmu kedokteran –sebagai bagian sains dan teknologi— adalah universal dan tidak terkait suatu ideologi tertentu.
Adapun komponen pertama dan kedua, akan menjadi poin pembeda yang sangat nyata antara sistem kesehatan Islam dengan sistem kesehatan Barat (sekuler). Komponen pertama sistem kesehatan Islam, adalah nilai-nilai Islam itu sendiri, yaitu Aqidah Islam dan berbagai hukum syariah yang lahir dari aqidah Islam itu, khususnya hukum syariah yang mengatur aspek kesehatan. Di sinilah syariah Islam mendapatkan posisinya dalam sistem kesehatan Islam. Adapun dalam sistem kesehatan sekuler, komponen pertama adalah nilai-nilai sekularisme seperti kebebasan.
Komponen ketiga dalam sistem kesehatan Islam, adalah SDM yang profesional dalam bidang kesehatan yang bekerja mengikuti norma syariah. Sedang dalam sistem kesehatan sekuler, komponen ketiga ini adalah SDM profesional tapi bermental sekuler dan liberal, yang tidak mau terikat dengan norma syariah.
Jika nilai-nilai Islam (aqidah dan syariah) merupakan komponen pertama dalam sistem kesehatan Islam, lalu bagaimana kesehatan reproduksi menurut nilai-nilai Islam?
Secara ringkas, konsep kesehatan reproduksi menurut Islam dapat dijelaskan antara lain dalam poin-poin berikut :
Pertama, Aqidah Islam adalah asas satu-satunya bagi pengaturan kesehatan reproduksi. Artinya segala macam kebijakan atau peraturan yang menyangkut reproduksi, tidak boleh keluar dari aturan syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam. Misal : Tidak boleh ada UU yang melegalisasikan aborsi.
Kedua, Syariah Islam adalah satu-satunya standar atau tolok ukur bagi tindakan/perilaku kesehatan reproduksi, baik bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan. Maka tidak dibenarkan melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang berkaitan dengan reproduksi jika bertentangan dengan syariah Islam. Misal : tidak dibenarkan seorang perempuan melakukan zina (free sex) baik secara aman (safe sex) maupun tidak aman. Perempuan yang hamil baik karena zina, diperkosa, hubungan incest, dan sebagainya, tidak dibenarkan melakukan aborsi, walaupun aborsi yang aman (safe abortion)
Ketiga, Kesehatan reproduksi wajib diarahkan pada tujuan dasar diciptakannya sistem reproduksi manusia beserta naluri yang menggerakkannya (gharizah al-nau’), yaitu untuk melestarikan jenis manusia (li baqa` nau’ al-insan), melalui lembaga pernikahan. Artinya, kesehatan reproduksi bukan ditujukan untuk melayani nafsu sampah manusia bejat untuk memuaskan hasrat dan orientasi seksualnya secara liar. Kesehatan reproduksi bukan ditujukan untuk melayani dan menyuburkan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, dan sebagainya; baik langsung maupun tak langsung.
Keempat, Setiap pelayanan, edukasi, informasi, dan konseling kesehatan yang diberikan dan difasilitasi pemerintah kepada rakyat tidak boleh bertentangan dengan Aqidah dan Syariah Islam. Semua pelayanan dan edukasi kesehatan itu tidak boleh dimaksudkan untuk mendorong rakyat (khususnya remaja yang aktif secara seksual) untuk melakukan perbuatan amoral (zina). Tidak boleh pula dimaksudkan memberikan pemahaman yang keliru baik mengenai norma maupun realitas kesehatan reproduksi. Tidak boleh misalnya, ada anjuran memakai kondom bagi remaja yang akan berzina dengan pacarnya atau akan beranal seks dengan teman homonya. Seharusnya, anjuran yang diberikan adalah agar tidak berzina dan melakukan perilaku homoseksual.
Kelima, Setiap tindakan medis yang diberikan tenaga kesehatan tidak boleh menyalahi Syariah Islam. Artinya, tolok ukur tindakan medis yang baik bukan sekedar dilihat dari segi mutu dan keamanannya secara medis, tapi juga dilihat dari segi kesesuaiannya dengan syariah. Misal, tidak boleh melakukan aborsi walaupun aborsi aman, jika aborsi itu diharamkan syariah. Yaitu tanpa indikasi medis yang kuat (ancaman kematian ibu). Jadi, konsep aborsi aman adalah bertentangan dengan syariah
v  Hukum Aborsi
Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya.
Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An-Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan. Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin.
Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya.
Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Usman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (QS Al An’aam : 151)
Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini.
Akan tetapi menurut pendapat Abdul Qadim Zallum (1998) dan Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram.
Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniu­pan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman 45-56; Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).




Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi SAW berikut :
‘Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),’Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud RA)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :
‘(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…’
Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete­lah melewati 40 atau 42 malam.
Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :

‘Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…’ (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA) (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa.
Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Namun demikian, sebagai perkecualian dari haramnya aborsi pasca 40 hari usia janin, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS Al Maidah : 32)



Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasu­lullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah SAW bersabda :
‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian !’ (HR. Ahmad)
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan :
Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima
“Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya.
Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar