- Tawassul
Tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
ketaatan kepada-Nya, beribadah kepada-Nya, mengikuti petunjuk Rasul-Nya dan
mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan di ridhai-Nya, lebih jelasnya
adalah kita melakukan suatu ibadah dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah
dan surga-Nya.
Selain definisi tawasul di atas, berikut pengertian dari Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar
do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah
menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan
kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil
Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir).
Sedang menurut istilah syari’at, al-wasilah yang diperintahkan dalam
al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah
Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan. (Tafsir Ath-Thabari IV/567
dan Tafsir Ibnu Katsir III/103)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ
وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti kepadaNya, dan berjihadlah
(berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (Qs.Al-Maidah:35)
Mengenai ayat diatas Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu
berkata,”Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah (peribadatan
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).”
Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan,
‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu
Zaid, dan yang lainnya. Qatadah
berkata tentang makna ayat tersebut,”Mendekatlah kepada Allah dengan
mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang di ridhoi-Nya.” (Tafsir Ibnu Jarir
ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam: tawassul sunnah,
tawassul bid’ah, dan tawassul syirik.
- Tawassul Sunnah
ü Pertama: Bertawassul dengan menyebut
asma’ul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a. Allah Ta’ala
berfirman,
“Hanya milik Allah-lah asma’ul
husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asma’ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut
nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjaan.” (Qs.Al-A’raf:180)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda dalam do’anya,
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu
dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diriMu dengan nama-nama tersebut,
atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hambaMu, atau yang telah
Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih tersimpan di sisi-Mu.” (HR.Ahmad :3712)
ü Kedua: Bertawassul dengan sifat-sifat
Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha
Berdiri sendiri, hanyadengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah
seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri
walaupun sekejap mata.”
(HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim)
ü Ketiga: Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab shahih
muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan tentang tiga orang yang terperangkap
dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul dengan amal shalih mereka. Orang
pertama bertawassul dengan amal shalihnya berupa memelihara hak buruh. Orang ke
dua bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Sedangkan orang ke
tiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan
perbuatan keji yang hendak dia lakukan. Akhirnya Allah Ta’ala membukakan pintu
gua itu dari batu besar yang menghaanginya, hingga mereka bertiga pun akhirnya
selamat. (HR.Muslim 7125)
ü Keempat: Bertawassul dengan meminta doanya
orang shalih yang masih hidup. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa ada
seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah,
berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat
kembali).”
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab,
“Jika Engkau menghendaki aku akan berdoa
untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu.”
Orang tersebut tetap berkata,”Do’akanlah.”
Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyuruhnya berwudhu secara
sempurna lalu shalat dua raka’at, selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan
mengatakan,
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu bersama dengan nabi-Mu, Muhammad,
seorang nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad,
sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia
memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doa)ku, dan jadikanlah
aku pelengkap bagi (doa)nya.” Ia (perawi hadits) berkata,”Laki-laki itu
kemudian melakukannya, sehingga dia sembuh.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi)
ü Kelima: Bertawassul dengan keimanannya
kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
رَّبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلإِيمَانِ أَنْ آمِنُواْ بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami
mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu),’Berimanlah kamu kepada
Tuhanmu’. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami
dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami
beserta orang-orang yang berbakti.” (Qs.Ali-Imran:193)
ü Keenam: Bertawassul dengan ketauhidannya
kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ
مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن
لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي
الْمُؤْمِنِينَ
“Dan
(ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia
menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang
berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau.
Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami
telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang
beriman.” (Qs.Al-Anbiya:87-88)
- Tawassul Bid’ah
ü Pertama: Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat hadits,
“Dari Anas bin Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu
jika terjadi kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan
bertawassul melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas
bin Abdul Muthallib. Umar berkata,’Ya Allah dahulu
kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami,
maka turunkanlah hujan kepada kami’. Kemudian turunlah hujan.” (HR.Bukhari:
1010)
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam bukanlah “Bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang.
Akan tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam. Oleh karena itu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
telah wafat, para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau keddukan Nabi,
akan tetapi bertawassul dengan doa paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
–yaitu ‘Abbas- yang saat itu masih hidup.
ü Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau kemuliaan orang shalih
ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan.
Contoh,”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul
Qadir Jailani,
ampunilah aku.”
ü Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala di sisi kubur
orang shalih. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan merupakan
perantara menuju kesyirikan.
- Tawassul Syirik
Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang
yang sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdoa
kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka.
Contoh,”Ya Sayyid Al-Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami”.
Perbuatan ini merupakan syirik akbar
dan dosa besar yang paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan
“tawassul”. Hukum syirik ini dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada
selain Allah
- Tabarruj
Berikut beberapa firma Allah SWT mengenai Tabarruj
diantaranya sebagai berikut;
"Wahai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin, supaya mereka mengenakan jilbab ke seluruh
badannya, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal; kerana itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Al-Ahzab: 59)
Di dalam surah an-Nur, ayat 31:
"Katakanlah
kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa
keliahtan padanya, dan hendaklah mereka melepaskan kain tudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka.."
Berdasarkan seluruh nash-nash mengenai aurat dan berhias, di
hadapan kita sekarang ini ada beberapa persoalan yang perlu dipecahkan,
antaranya ialah:
·
Batasan
aurat - Anggota asas yang disepakati oleh para ulamak agar ditutup ialah
seluruh tubuh badan kecuali muka dan dua telapak tangan.
·
Apakah
muka termasuk aurat - Muka pula telah diperselisihkan di kalangan mereka, ada
yang kata ia adalah aurat dan ada yang kata bukan aurat.
Kalau, kita pilih pendapat yang mengatakan
bahawa muka adalah aurat Habis cerita. Soal gincu, bedak, losyen dan celak dan
sebagainya sudah tentu tak timbul. Ia nyata haram dipamerkan di hadapan lelaki
ajnabi. Tetapi, bagaimana jika kita memilih bahawa muka itu bukan aurat -
kebanyakkan kita memilih pendapat ini -, di mana kedudukan celak, gincu, bedak
dan bla.. bla..bla.
Sekarang ini kita pilihlah kononnya bahawa muka itu bukan
aurat Tetapi, sebelum itu lebih baik kita bincangkan dahulu mengenai masalah
tabarruj, yang sudah tentu berkaitan dengan soal muka bukan aurat.
yang
di maksudkan dengan tabarruj di dalam firman Allah:
"dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkahlaku
(tabarruj) seperti orang-orang jahiliah dahulu (pertama)". (Al-Ahzab:33)
Ayat di atas sebagai irsyad ( petunjuk/tunjuk ajar) kepada
isteri-isteri Nabi s.a.w. agar tetap di rumah dan tidak bertabarruj sebagaimana
orang-orang jahiliyah dahulu.
Tabarruj
dikatakan sebagai berjalan dengan berlenggang-lenggok atau memperelokkannya. Ada juga yang mengatakan
bahawa tabarruj ialah melepaskan tudung kepalanya tetapi tidak
mengikat/mengetatkannya, lalu terlihatlah rantai leher, anting-anting dan
lehernya. Lagi satu pendapat lain mengatakan, tabarruj ialah memperlihatkan
keelokkan/kecantikkannya yang sepatutnya wajib ditutup.
Tabarruj berasal dari kata BARAJUN, bererti luas. Ada juga yang mengatakan ia berasal dari kata BURJUN
yang bererti tinggi. lihat kembali ayat
al-Quran: ".orang-orang jahiliyah dahulu."
Tabarruj yang dikaitkan dengan orang-orang jahiliyah dahulu.
Di dalam tafsir al-Qurthubi menyatakan
beberapa pendapat mengenainya:
ü Iaitu masa antara Adam dan Nuh a.s., ini adalah pendapat al-Hakam bin
Uyainah.
ü Ibnu Abbas berpendapat: Masa di antara Nuh dan
Idris a.s.
ü Al-Kalbi: Masa di antara Nuh dan
Ibrahim a.s.
ü Jamaah: Masa di antara Musa dan Isa
a.s.
ü Abu Aliyah: Masa di antara Daud dan
Sulaiman a.s.
ü Al-Sya'bi: Masa di antara Isa a.s.
dan Muhamad s.a.w.
Namun semua pendapat itu tidak disandarkan dengan satu
sumber yang kukuh dan sahih. Cuma yang pasti, semua mereka di atas bersepakat
mengatakan bahawa jarak masa antaranya dan masa Nabi Muhamad
dibangkitkan sebagai Rasul adalah jauh (jangkamasa yang begitu lama).
Dan, apabila al-Quran menyebutkan "jahiliyah dahulu" -
dahulu/lama/pertama - bermaksud di sana ada yang dikatakan sebagai `jahiliah
baru' atau `jahiliyah kedua'.
Bila
masa jahiliyah kedua berada? Iaitu selepas jahiliyah pertama dan sedikit masa
sebelum kebangkitan Nabi kita Muhamad s.a.w.
Mengapa jahilyah pertama/dahulu ini dikaitkan dengan
tabarruj? Buruk sangatkah mereka ini? Hodoh sangatkah perangai depa ni? Ya,
gambarannya lebih kurang begini:
Perempuan-perempuan
jahiliyah pertama/awal pakaiannya - memakai baju dari lu'lu', atau baju dari
mutiara dan intan yang tidak berjahit kedua belah, dan berpakaian tipis yang
menampakkan tubuh badannya. Dengan berpakaian begini, mereka akan berjalan di jalan-jalan
mempamerkan diri mereka kepada kaum lelaki. Dan,
dapat dirasakan bahawa zaman berkenaan adalah zaman yang penuh dengan
kemewahan.
Era jahiliyah kedua yang akan berhubung dengan era
kebangkitan Muhamad sebagai rasul tidaklah sampai ke peringkat begitu teruk.
Namun ada juga sedikit sebanyak tabarruj yang berlaku, hingga kadangkala sampai
ke peringkat telanjang terus. Ini dapat dibuktikan melalui hadis riwayat
Muslim, bagaimana kaum wanita zaman itu bertawaf dalam keadaan telanjang bulat.
Sekarang ini jelaslah sudah mengapa Allah mengaitkan
al-jahiliyah al-`Ula (jahiliyah pertama/dahulu) dengan tabarruj. Dan, dengan penjelasan di atas tidaklah bermakna yang
terlarang ialah bertabarruj seburuk orang-orang jahiliyah pertama, kalau kurang
daripada itu tidak mengapa. Tak apalah kalau tabarruj sikit-sikit. Ini adalah
fahaman yang salah, kerana Allah menyebutkan sifat-sifat tabarruj jahiliyah
pertama adalah bertujuan memberi penjelasan realiti yang berlaku ketika itu,
bukannya mahu mengaitkan pengecualian hukum selain daripada itu. Ia lebih
berbentuk penjelasan tentang keji dan berlawanannya perbuatan itu dengan
citarasa serta naluri kemanusiaan.
Perlu diingatkan bahawa maksud tabarruj yang dilarang di
dalam Islam ialah membuka aurat - berdasarkan kepada siapa dia berhadapan.
Kalau di hadapan dengan lelaki asing, apa yang perlu ditutup. Jika tidak
memenuhi kehendak ini, maka dia sudah tergolong di dalam perempuan yg
bertabarruj. Begitulah seterusnya ketika di hadapan mahram, orang gaji dsbnya
Mari kita lihat lagi firman Allah:
“Katakanlah
kepada wanita beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa
kelihatan padanya, dan hendaklah mereka melepaskan kain tudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka.. (an-Nur, ayat 31)
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahawa para
ulamak berselisih pendapat mengenai, apakah muka itu aurat atau bukan. Dan ayat di atas telah menjadi hujah kepada kedua-dua
kelompok dengan penafsiran yang berbeda.
Kita
ambil sedikit petikan ayat: “..dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang biasa kelihatan padanya”.
Terjemahan ayat : kecuali yang biasa kelihatan padanya.. dapat
juga diterjemahkan: kecuali apa yang zahir (illa ma zahara).
Pada ayat ini Allah Taala melarang wanita mempamirkan
perhiasan, kecuali apa yang zahir. Persoalannya di sini ialah, apa maksud
perhiasan zahir yang boleh dipamirkan? Jadi, dapat difahami bahawa perhiasan
ada dua:
1.
Yang
zahir/nyata
2.
Yang
tidak zahir/nyata (batin/dalaman/tersembunyi)
Apakah perhiasan zahir? Apakah pula perhiasan yang tidak
nyata? Para ulamak yang mengatakan muka itu
adalah aurat, mereka menafsirkan bahawa perhiasan yang zahir itu ialah pakaian
itu sendiri. Bila wanita berpakaian, bertudung dan menutup muka, maka itulah
dia maksud perhiasan yang zahir. Perhiasan yang tidak nyata pula ialah, rantai
leher, gelang, anting-anting dsbnya..
Manakala menurut ulamak yang berpendapat muka itu bukan
aurat menafsirkan bahawa maksud perhiasan yang zahir yang boleh diperlihatkan
di hadapan lelaki ialah celak dan cincin. Ada
yang menambah telapak tangan. Ada
yang tambah warna telapak tangan, iaitu pewarna yang dibubuh di telapak tangan
(termasuk kuku). Dan, macam-macam
lagilah.. tetapi di sekitar itulah. Perhiasan yang tersembunyi pula ialah
rantai leher, anting-anting dsbnya.
Kitab-kitab
tafsir berikut ada menjelaskan pendapat-pendapat berkenaan:
1.
Jamiul
Bayan Al-Thabari
2.
Ahkamul
Quran AL-Jashas
3.
Al-Wajiz
fi Tafsiril Quran al-Aziz Al-Wahidi
4.
Maalimatut
Tanzil AL-Baghawi
5.
Tafsir
al-Kasyaf Al-Zamakhsyari
6.
Ahkamul Quran
Ibnul Arabi
7.
Al-Muharrir
al-Wajiz Ibnu Athiyah
8.
Zadul Masir
Fi Ilmit
Tafsir Ibnul
Jauzi
9.
Al-Tafsir
al-Kabir Al-Fakhrur Razi
10.
Al-Jami li Ahkamil Quran
Al-Qurthubi
11.
Tafsir
al-Baidhawi
12.
Lubabut
Tawil Fi Maanit Tanzil Al-Khazin dan sebagainya.
Pembahasannya lebih kurang sama dalam menafsirkan `perhiasan
yang zahir.
Berikut
ini adalah apa yang tersebut di dalam Zadul Masir fi Ilmit Tafsir oleh Ibnul Jauzi:
Maksud
`perhiasan yang zahir/apa yang biasa dilihat, terdapat tujuh pendapat, iaitu:
1.
Ia
bermaksud pakaian. Ini adalah riwayat dari Abu Ahwash dari Ibnu Masud.
2.
Bererti
telapak tangan, cincin dan muka - Dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas
3.
Bererti
celak dan cincin Juga dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.
4.
Bererti
gelang, cincin dan celak Al-Misywar bin Mukhrimah.
5.
Bererti
celak, cincin dan pewarna telapak tangan Pendapat dari Mujahid.
6.
Bererti
cincin dan gelang Dari al-Hasan.
7.
Bererti
celak, cincin dan pewarna telapak tangan dari al-Dhahhak.
Itulah pendapat mereka tentang maksud perhiasan zahir yang
biasa dilihat. Berdasarkan pendapat Ibnu Abbas,
Al-Misywar bin Mukhrimah, Mujahid, dan al-Dhahhak dan al-Hasan dapat kita
simpulkan bahawa yang boleh dipamerkan ialah perhiasan yang tidak mungkin
diselindung yang memang biasa dipakai oleh para wanita. Kalau perhiasan di muka
apa lagi kalau bukan celak. Kalau di telapak tangan apa lagi kalau bukan
cincin. Cuma ada beberapa ulamak yang mengatakan bahawa muka itu sendiri adalah
perhiasan. Dan telapak tangan itu
sendiri adalah perhiasan. Jadi, mereka tidak memasukkan celak dan cincin
sebagai perhiasan yang boleh dipamerkan.
Mereka yang memasukkan celak dan pewarna telapak tangan
sebagai perhiasan yang boleh dipamerkan di hadapan lelaki ajnabi tidaklah
dihadkan terhadap dua perkara itu sahaja. Ia disebutkan hanyalah sebagai wakil
dari perhiasan-perhiasan lain yang biasa digunakan pada muka atau telapak
tangan. Ia berdasarkan adat, tradisi dan kebiasaan satu-satu kelompok
masyarakat. Berikut ini adalah antara perhiasan yang ada dan biasa
digunakan oleh para wanita pada zaman Rasulullah s.a.w atau tradisi arab
dahulu:
1.
Khidhab Pewarna untuk tangan
2.
Shufrah Pewarna kuning untuk wajah
3.
Kalkun Pewarna untuk memerahkan wajah
4.
Isfidaj Pewarna putih untuk wanita berhias.
5.
Celak Berhias pada mata
Berikut ini adalah sebahagian dalil kewujudan perhiasan di
atas:
Dari Zainab
binti Abu Salamah,
dia berkata: Ketika datang berita kematian Abu Sufian dari Syam, Ummu Habibah
meminta diberikan wangi-wangian berwarna kuning pada hari yang ketiga. Lalu dia
mengusapkannya pada kedua pipinnya dan kedua lengannya.
Dia berkata: Sesungguhnya aku benar-benar tidak memerlukan
ini, kalaulah bukan kerana aku pernah mendengar Nabi s.a.w. bersabda: Tidak
halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk
berkabung atas mayat lebih dari tiga hari, kecuali atas suami, maka dia
berkabung atasnya empat bulan sepuluh hari. (HR Bukhari
& Muslim)
Dari Ibnu
Abbas r.a., bahawa seorang wanita datang
kepada Rasulullah s.a.w. untuk berbaiah kepadanya, tetapi perempuan itu tidak
ber ikhtidab, sehingga baginda tidak mahu membaiahnya melainkan setelah
ber-ikhtidab (HR Abu Daud)
Ikhtidab ialah sejenis pewarna yang biasa digunakan pada
telapak tangan pada zaman itu.
Dari Abu
Hurairah r.a katanya: Telah bersabda
Rasulullah s.a.w.: Wangi-wangian lelaki adalah apa yang jelas baunya dan
tersembunyi warnanya. Dan perhiasan
wanita ialah apa yang jelas warnanya dan tersembunyi baunya (HR al-Tarmizi)
Dari Imran bin Husin, bahawa Nabi Allah s.a.w.
bersabda: ingatlah bahawa wangi-wangian lelaki adalah bau tanpa warna. (HR Abu
Daud)
Dari Ummu
Athiyah, dia berkata: Adalah kami dilarang
untuk berkabung terhadap seorang mayat lebih dari tiga hari, kecuali terhadap
suami, maka empat bulan sepuluh hari. Kami tidak boleh bercelak,
berwangi-wangian dan memakai pakaian bercelup. (HR Bukhari
& Muslim)
Apabila kita menerima hujah yang mengatakan bahawa perhiasan
yang zahir atau yang biasa dilihat itu adalah celak, gincu, bedak dan segala
suku-sakatnya, maka perlu kita ketahui juga batas-batas yang perlu dipelihara.
Iaitu:
1. Memelihara niat dan tujuan berhias.
Tidak bertujuan untuk menarik pandangan dan perhatian lelaki ajnabi.
2. Dari segi praktiknya hendaklah bertepatan
dengan niatnya. Iaitu tidak berhias secara berlebih-lebihan hingga atau yang
dapat menarik perhatian serta menggugah perasaan lelaki ajnabi. Seperti
bercelak dengan cara dan gaya yang dapat menarik
perhatian. Atau bergincu dengan warna yang begitu menyerlah merah
menyala-nyala. Atau berbedak dengan bedak yang berwarna warni. Di tambah dengan keharuman yang menyemarak. Atau
memanjangkan kuku. Atau sebagainya.
3. Tidak dari bahan yang mengeluarkan
bau wangi dan harum menyemarak serta tersebar. Boleh dari bahan yang wangi
tetapi yang tersembunyi baunya.
Jadi berdasarkan uraian mengenai Tabarruj di atas dapat
simpulkan sebagai berikut;
1.
Sebahagian
ulamak mengatakan muka itu adalah aurat. Sebahagiannya mengatakan muka bukan
aurat.
2.
Tabarruj
jahiliyah yang dilarang di dalam Islam ialah membuka aurat di hadapan meraka
yang haram melihatnya.
3.
Kebanyakkan
ulamak menyatakan bahawa maksud firman Allah: kecuali apa yang biasa dilihat.
Adalah sebagai celak dan cincin. Ada
yang menambah dengan gelang tangan dan pewarna tangan.
4.
Bersolek
pada muka dan telapak tangan (termasuk kuku) adalah dibenarkan tetapi dalam
batasan-batasan umum yang telah ditetapkan syarak.
- Safaat Maslah Kontemporen Keperawatan dalam perspektif Islam
a. Konsep
Safe Abortion Adalah
Batil
Konsep safe abortion ini batil, sebab aborsi
tetap haram walau pun aman. Aborsi secara umum adalah haram baik dilakukan
secara tidak aman maupun secara aman. Tidak ada bedanya dari segi keharaman,
sebab tidak dalil syariah yang membolehkan aborsi yang aman. Kaidah ushul fiqih
mengatakan :
Al-’aam yabqaa ‘ala ‘umumihi maa lad yarid dalil
at-takhshish
(Lafazh/dalil
umum tetap dalam keumumannya selama tidak dalil yang mengecualikannya).
Dalam
hal ini dalil-dalil yang mengharamkan aborsi (seperti QS Al An’aam : 151, QS
Al-Israa : 31) adalah dalil umum, dan tidak ada dalil yang mengecualikan untuk
aborsi aman.
Maka
aborsi secara umum tetap haram.
Kebatilan konsep safe abortion ini dapat
dianalogikan dengan haramnya zina atau daging babi. Secara umum, zina hukumnya
haram, baik dilakukan secara tidak aman (misal dengan resiko PMS/Penyakit
Menular Seksual yang tinggi) maupun secara aman, misalnya dengan menggunakan
kondom. Demikian pula secara umum daging babi hukumnya tetap haram, apakah
daging babi itu mengandung flu burung atau bebas flu burung sama sekali.
Maka
dari itu, konsep safe abortion adalah konsep batil karena bertentangan dengan
Islam secara total. Menghalalkan safe abortion sama saja dengan membuat hukum
sendiri, padahal hanya Allah SWT yang berhak membuat hukum. Firman Allah SWT
(artinya) :
“Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al-An’aam [6] : 57)
b. Tidak Boleh
Mengurangi AKI
dengan Jalan
Aborsi
Islam tidak menyetujui
prinsip menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan (the end justifies the means) yang sangat sekularistik itu. Prinsip Machiavelis
ini sangat bertentangan dengan kaidah hukum Islam :
Laa
yutawashshalu ilal halal bil haram
(Tidak
boleh menuju yang halal melalui jalan yang haram) (Lihat Ahmad Al-Mahmud,
Ad-Da’wah ila Al-Islam, Beirut : Darul Ummah, 1995, hal. 288). Dalam redaksi
lain tapi maknanya sama, terdapat kaidah berbunyi :
Laa
yajuuzu irtikabu mahzhuurin li at-tawashshulu ila mubaahin
(Tidak
boleh melakukan yang haram untuk mencapai sesuatu yang mubah) (Lihat M. Khair Haikal,
Al-Jihad wal Qital, Juz II, Beirut : Darul Bayariq, 1996, Juz II, hal. 1337)
c. Legalisasi Aborsi
Adalah Menghalalkan
Yang Haram
Melegalisasi aborsi bukan sekedar bertentangan
dengan syariah Islam, namun
juga sudah menyentuh wilayah yang sensitif, yaitu Aqidah Islam. Mengapa? Sebab
legalisasi aborsi secara langsung atau tidak berarti menghalalkan zina (free
sex) dan menghalalkan pembunuhan (aborsi). Padahal
menghalalkan yang haram atau sebaliknya mengharamkan yang halal adalah
perbuatan syirik yang dapat merusak syahadat seorang muslim. Na’uzhu
billah min dzalik. (Lihat Said Hawwa, Al Islam,
(Jakarta
: GIP, 2004) hal. 106).
Hal
itu dikarenakan, menetapkan halal haramnya sesuatu adalah hak Allah semata,
sesuai firman-Nya (artinya) :
“Ingatlah
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS Al-A’raaf [7]
: 54)
Maka dari itu, manusia
yang menghalalkan yang haram atau yang mengharamkan yang halal, berarti telah
mengangkat dirinya sebagai tuhan0tuhan selain Allah. Manusia seperti itu telah
menjadi sekutu Allah. Allah SWT berfirman (artinya) :
“Mereka
itu (kaum Yahudi dan Nasrani) menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka juga mempertuhankan) al
Masih putera Maryam, padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Tuhan Yang
Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS At-Taubah [9] : 31)
Ayat ini pernah dibacakan oleh
Rasulullah SAW kepada Ketika Adi Bin Hatim (saat masih beragama Kristen). Maka
Adi bin Hatim berkata,”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kaum Yahudi dan Nasrani itu tidak menyembah orang alim dan rahib
mereka.” Maka Nabi SAW menjawab,”Benar! Tapi mereka mengharamkan yang halal dan
mengharamkan yang halal, lalu kaum mereka mengikutinya. Itulah bentuk penyembahan
kaum Yahudi dan Nasrani kepada pemuka agama mereka.” (HR. Tirmidzi)
(Lihat Yusuf Al-Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), (Surabaya : PT Bina
Ilmu, 1990), hal. 19-21.)
Maka dari itu,
legalisasi aborsi di samping melawan Syariah Islam, juga melawan Aqidah Islam.
Piha-pihak yang pro aborsi jika mereka muslim, dan tahu benar bahwa upaya
legalisasi aborsi adalah bertentangan dengan nash
yang qath’i (pasti) tentang haramnya zina (QS 17:32) dan
haramnya pembunuhan (QS 6:151 dan 17:31), maka tak diragukan
lagi, mereka akan menjadikan orang murtad dan musyrik yang telah keluar dari
agama Islam !
d. Legalisasi Aborsi
Adalah Agenda Global Barat
Legalisasi aborsi bukan
sekedar masalah kesehatan reproduksi lokal Indonesia, tapi sudah termasuk salah
satu pemaksaan gaya hidup kapitalis sekuler yang selalu dipropagandakan
negara-negara Barat yang kafir, terutama Amerika Serikat, melalui badan-badan
dunia seperti PBB. Jadi,
upaya legalisasi aborsi bukan inisiatif murni pihak-pihak yang pro aborsi,
melainkan sudah menjadi agenda global Barat untuk mensekulerkan umat Islam di
seluruh dunia.
Hal
itu dapat dibuktikan dari fakta bahwa isu legalisasi aborsi telah menjadi isu
global yang diserukan lembaga-lembaga internasional kepada pemerintah di setiap
negara.
v Jaminan Kesehatan Masyarakat dalam Syariah Islam
Dalam Syariah Islam,
negara Khilafah Islam wajib memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya, yaitu :
(1)
pendidikan,
(2),
keamanan, dan
(3)
kesehatan.
(Abdurrahman
Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, 1963, hal. 177).
Tiga kebutuhan dasar
(al-hajat al-asasiyah) itu wajib diberikan oleh Khilafah kepada rakyatnya
secara cuma-cuma, sebab itu semuanya adalah hak rakyat untuk mendapatkan
pelayanan dari khalifah (negara). Rasulullah SAW bersabda :
‘Imam
(khalifah) adalah ibarat penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab atas
gembalaannya (rakyatnya).’(HR. Muslim)
Dalil khusus yang
berkaitan dengan wajibnya negara menjamin kesehatan rakyatnya, adalah bahwa
syariah Islam telah memerintahkan menghilangkan setiap bahaya (dharar),
termasuk bahaya penyakit. Rasulullah SAW bersabda :
‘Tidak
boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri atau bagi orang lain.’
Maka
dari itu, negara wajib menjamin kesehatan rakyatnya, sebab jika tidak, akan
menimbulkan bahaya, padahal Islam telah mewajibkan untuk menghilangkan setiap
bahaya. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla,
1963, hal. 180).
Dalil lainnya bahwa
negara wajib menjamin kesehatan rakyatnya, adalah bahwa Rasulullah SAW pernah
diberi hadiah berupa seorang tabib (sekarang dokter), tapi beliau lalu
menjadikan tabib itu sebagai hak seluruh kaum muslimin, bukan hak beliau
sendiri. Ini berarti kesehatan adalah urusan umum yang wajib dipenuhi negara
atas rakyatnya (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah
Al-Mutsla, 1963, hal. 177).
Meski demikian, syariah
Islam tidak melarang adanya pelayanan kesehatan yang berasal dari non
pemerintah, yaitu yang dilakukan oleh dokter atau rumah sakit swasta dengan
memungut biaya. Hal ini dibolehkan karena menerapkan hukum Ijarah (memberikan
jasa dengan imbalan) yang berlaku umum, di samping terdapat dalil khusus untuk
hal tersebut. Dalil ini adalah hadits yang menjelaskan bahwa seorang dokter
dibolehkan memungut biaya atas jasa yang diberikannya kepada pasien.
Diriwayatkan
dari Anas RA bahwa Nabi SAW pernah memanggil seorang anak muda untuk melakukan
hijamah (pembekaman) dan Nabi SAW memberikan kepadanya satu atau dua sha`
makanan.’ (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla,
1963, hal. 180).
Selain pelayanan
kesehatan dari negara, sejarah juga mencatat adanya pelayanan kesehatan swasta.
Tercatat dalam sejarah adanya macam-macam waqaf dari orang kaya untuk berbagai
keperluan, di antaranya adalah untuk membangun rumah sakit. (Musthafa Husni
As-Siba’i, Kehidupan Sosial Menurut Islam, hal. 405).
Di rumah sakit swasta itu juga disediakan pengobatan
jiwa (psikoterapi). Di Tripoli (Libanon) pernah ada
rumah sakit swasta yang menggaji dua orang yang pekerjaannya secara khusus
adalah memberi sugesti kepada orang yang sakit bahwa kesehatannya makin
membaik. Di rumah sakit Sultan Qalawun
di Kairo pernah ada pula pertunjukan lawak bagi para pasien agar mereka
terhibur. (Musthafa Husni As-Siba’i, Kehidupan Sosial Menurut Islam,
hal. 407).
Namun yang perlu diperhatikan,
jaminan kesehatan yang diberikan Islam kepada rakyatnya, tentu tidak lepas dari
syariah Islam. Negara tidak akan pernah mengizinkan aborsi tanpa alasan yang
dibenarkan syariah, misalnya.
Syariah
Islam itu akan otomatis sudah masuk (include) dalam sistem kesehatan yang
secara tata kenegaraan dilaksanakan oleh Jihaz Idari (Biro Pelayanan Umum)
dalam negara Khilafah. Sistem kesehatan ini tersusun dari 3 (tiga) unsur
komponen sistem :
Pertama, peraturan,
baik peraturan berupa Syariah Islam maupun peraturan teknis administrative, Kedua, sarana dan peralatan fisik,
seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya dan Ketiga, SDM (sumber daya manusia),
sebagai pelaksanan sistem kesehatan, meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis
lainnya. (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hal. 148)
Adapun pelayanan
kesehatan yang diberikan, wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan
masyarakat dalam sistem Islam, yaitu :
Pertama,
sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit dan rumit yang justru
menyulitkan),
Kedua, cepat dalam pelayanan (bukan berlambat-lambat dan santai yang akan menghabiskan waktu rakyat)
Kedua, cepat dalam pelayanan (bukan berlambat-lambat dan santai yang akan menghabiskan waktu rakyat)
Ketiga, profesional
dalam pelayanan (bukan dikerjakan oleh orang yang tidak kompeten). (Abdul Qadim
Zallum, Sistem Pemerintahan Islam,
hal. 262).
Dapat
ditambahkan bahwa, jaminan kesehatan masyarakat yang diberikan Islam, tidak
dapat dipisahkan dengan sistem-sistem lainnya dalam masyarakat Islam, seperti
sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan sistem sosial.
Jika
keseluruhan sistem Islami tersebut berjalan baik dan menerapkan syariah Islam,
insya Allah sistem kesehatan akan dapat memberikan jaminan kesehatan yang
optimal bagi rakyat, termasuk mengurangi AKI (Angka Kematian
Ibu).
Agar semua sistem itu
terjamin dapat melaksanakan syariah Islam, dasar negaranya haruslah Aqidah
Islam, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Di
sinilah masalahnya, sebab dasar negara dari seluruh negeri-negeri di seluruh
Dunia Islam saat ini adalah paham sekularisme yang berusaha menceraikan agama
Islam dari perannya serbagai pengatur segala urusan kehidupan.
v Kesehatan Reproduksi Dalam Islam
Kesehatan
Reproduksi
didefinisikan sebagai “suatu keadaan utuh kesejahteraan fisik, mental, dan
sosial dari penyakit dan kecacatan dalam semua hal yang berhubungan dengan
sistem, fungsi, dan proses reproduksi.” (Profil Kesehatan
Reproduksi Indonesia, Jakarta
: Depkes RI
dan WHO, 2003, hal. 2,3,17-20, 63-71)
Dapatkah syariah Islam
menerima definisi tersebut? Jawabnya : dapat, asalkan kesehatan reproduksi itu
diletakkan dalam suatu sistem kesehatan berdasarkan syariah Islam, bukan dalam
sistem kesehatan saat ini yang berdasarkan nilai-nilai sekuler yang kufur.
Sekularisme
adalah paham yang menolak aturan agama dalam kehidupan publik (termasuk sektor
kesehatan). Agama dipandang hanya sekedar urusan pribadi menyangkut hubungan
vertikal manusia dengan tuhan.
Setelah agama
dicampakkan agama dari perannya sebagai pengatur kehidupan, lalu siapa yang
mengatur kehidupan? Jawabnya, manusia sendiri, bukan agama (Tuhan). Jadi, tuhan
tidak dibolehkan mengatur hidup manusia, yang boleh mengatur adalah manusia itu
sendiri.
Dari titik itulah,
lahir paham kebebasan (freedom/liberalisme, al-hurriyat) yaitu paham yang
mengatakan tidak adanya keterikatan manusia dengan suatu nilai/norma pada saat
manusia melakukan perbuatan (‘adamu al-taqayyudi bi syai`in ‘inda al-qiyaami bi
al-‘amal) (Abdul Qadim Zallum, Kayfa Hudimat Al-Khilafah, 1994).
Paham kebebasan itu
antara lain adalah kebebasan berperilaku (al-hurriyat al-syakhshiyyah) yang
mengatakan bahwa manusia adalah pemilik tubuhnya sendiri. Maka, manusia boleh
dan berhak mengatur dan memperlakukan organ-organ tubuhnya sendiri sesuka-suka
dia. Termasuk tentunya di sini adalah organ-organ tubuh yang berkaitan dengan
sistem, fungsi, dan proses reproduksi, misalnya vagina, rahim, dan sebagainya.
Hubungan seksual boleh dengan siapa saja, asal aman, sehat, dan higienis.
Aborsi boleh saja asalkan sehat dan aman.
Jadi,
dalam masalah ini, agama apalagi tuhan dianggap tidak ada (in-exist) dan kalau
pun dianggap ada, tidak dibolehkan mengatur hidup manusia termasuk tubuh
manusia. Beginilah
cara berpikir kaum sekuler yang
anti agama.
Dari uraian di atas,
jelaslah bahwa jika kesehatan reproduksi diletakkan dalam sistem nilai sekularisme
seperti kebebasan (liberalisme) dan pragmatisme, maka kesehatan reproduksi akan
mencampakkan hukum Islam dan hanya menjadi pembenaran bagi berbagai perilaku
bejat, misalnya, perzinaan (free sex). Perzinaan akan semakin subur jika aborsi
dibolehkan secara hukum. Demikian pula aborsi itu sendiri akan dibolehkan untuk
kasus-kasus aborsi yang diklaim “boleh” dalam etika kedokteran sekuler, padahal
haram menurut syariah Islam. Yang seperti ini misalnya aborsi karena kasus
incest, janin dipastikan cacat, perkosaan, tuntutan karier, kegagalan
kontrasepsi, dan sebagainya. Aborsi untuk kasus-kasus tersebut haram menurut
hukum syariah Islam, sebab tidak terdapat dalil syar’i yang membolehkannya
sebagai perkecualian dari hukum umum haramnya aborsi.
Maka dari itu,
kesehatan reproduksi tidak boleh dilepaskan dari tuntunan dan pedoman syariah
Islam, agar kesehatan reproduksi tidak menjadi sistem liberal yang liar yang
hanya cocok untuk binatang ternak (seperti babi) atau orang-orang yang tidak
beragama.
Jadi,
konsep kesehatan reproduksi dapat diterima dan dilaksanakan sepanjang sesuai
dengan syariah Islam. Jika bertentangan dan malah menghancurkan tatanan nilai
Islam (Aqidah dan Syariah), maka kesehatan reproduksi wajib hukumnya ditolak,
digagalkan, dan dicabut sampai ke akar-akarnya.
Sistem kesehatan itu
sendiri secara umum merupakan salah satu dari sekian sistem sosio-kultural yang
ada dalam masyarakat, seperti sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan
sebagainya. Setiap sistem sosio-kultural empiris (empirical socio-cultural
system) yang ada dalam masyarakat, tersusun dari 3 (tiga) komponen yaitu :
Pertama, nilai-nilai, norma ideal, atau suatu pandangan hidup (values or
ideals or a system of meanings). Komponen pertama ini jelas terkait dengan
pandangan hidup tertentu atau ideology-oriented/value bound. Dalam sistem sosio
kultural Islam, komponen pertama ini adalah Aqidah Islam beserta segala aturan
syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam itu. Dalam sistem sosio kultural
Barat, komponen pertama ini adalah sekularisme dan segala nilai atau konsep
yang lahir dari sekularisme itu. Kedua,
sarana atau instrumental fisik (a causal system of empirical vehicles and
instrumentalities), misalnya komputer, bangunan gedung, buku, dan segala produk
sains dan teknologi. Komponen kedua ini tidak bersifat ideology-oriented, tapi
bersifat universal.
Pada poin ini sarana-sarana fisik yang sama
modernnya bisa digunakan oleh dua sistem sosio-kultural yang berbeda
ideologinya. Sistem sosio-kultural Islam boleh mengadopsi sarana modern selama
tidak bertentangan dengan syariah. Dan Ketiga, manusia sebagai pelaksana sistem (human
agents), misalnya guru dan murid (dalam sistem pendidikan), atau dokter dan
perawat (dalam sistem kesehatan). Komponen ketiga jelas terkait dengan
pandangan hidup. Dalam sistem sosio kultural Islam, human agents ini wajib
menjalankan profesinya atau berperilaku sesuai syariah Islam, walaupun dia
non-muslim. Profesionalitas dan norma
syariah tidak dapat dipisahkan (unseparable). Dalam sistem sosio kultural
Barat, human agents ini hanya mementingkan profesionalitas, tapi tidak ada
keharusan untuk terikat dengan norma
agama alias liberal. Jadi, profesionalitas bisa terpisah dari norma syariah. (Lihat : S. Waqar Ahmed Husaini,
Islamic Sciences, New Delhi
: Goodwork Books, 2002, hal. 148 & 162).
Jika teori umum tentang
sistem sosio kultural itu kita gunakan untuk menggagas sistem kesehatan Islam,
maka dapat dikatakan bahwa sistem kesehatan Islam itu memiliki satu kesamaan
dengan sistem kesehatan Barat pada komponen kedua yang bersifat universal,
yakni dari segi sarana dan instrumental fisiknya, termasuk juga dalam hal ini
ilmu kedokterannya sendiri. Sebab ilmu kedokteran –sebagai bagian sains dan
teknologi— adalah universal dan tidak terkait suatu ideologi tertentu.
Adapun komponen pertama
dan kedua, akan menjadi poin pembeda yang sangat nyata antara sistem kesehatan
Islam dengan sistem kesehatan Barat (sekuler). Komponen pertama sistem
kesehatan Islam, adalah nilai-nilai Islam itu sendiri, yaitu Aqidah Islam dan
berbagai hukum syariah yang lahir dari aqidah Islam itu, khususnya hukum
syariah yang mengatur aspek kesehatan. Di
sinilah syariah Islam mendapatkan posisinya dalam sistem kesehatan Islam.
Adapun dalam sistem kesehatan sekuler, komponen pertama adalah nilai-nilai sekularisme
seperti kebebasan.
Komponen ketiga dalam
sistem kesehatan Islam, adalah SDM yang profesional dalam bidang kesehatan yang
bekerja mengikuti norma syariah.
Sedang dalam sistem kesehatan sekuler, komponen ketiga ini adalah SDM
profesional tapi bermental sekuler dan liberal, yang tidak mau terikat dengan norma syariah.
Jika
nilai-nilai Islam (aqidah dan syariah) merupakan komponen pertama dalam sistem
kesehatan Islam, lalu bagaimana kesehatan reproduksi menurut nilai-nilai Islam?
Secara ringkas, konsep
kesehatan reproduksi menurut Islam dapat dijelaskan antara lain dalam poin-poin
berikut :
Pertama, Aqidah Islam
adalah asas satu-satunya bagi pengaturan kesehatan reproduksi. Artinya segala
macam kebijakan atau peraturan yang menyangkut reproduksi, tidak boleh keluar
dari aturan syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam. Misal : Tidak boleh ada
UU yang melegalisasikan aborsi.
Kedua, Syariah Islam
adalah satu-satunya standar atau tolok ukur bagi tindakan/perilaku kesehatan
reproduksi, baik bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan. Maka tidak dibenarkan
melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang berkaitan dengan reproduksi jika
bertentangan dengan syariah Islam. Misal : tidak dibenarkan seorang perempuan
melakukan zina (free sex) baik secara aman (safe sex) maupun tidak aman.
Perempuan yang hamil baik karena zina, diperkosa, hubungan incest, dan
sebagainya, tidak dibenarkan melakukan aborsi, walaupun aborsi yang aman (safe
abortion)
Ketiga, Kesehatan
reproduksi wajib diarahkan pada tujuan dasar diciptakannya sistem reproduksi
manusia beserta naluri yang menggerakkannya (gharizah al-nau’), yaitu untuk
melestarikan jenis manusia (li baqa` nau’ al-insan), melalui lembaga
pernikahan. Artinya, kesehatan reproduksi bukan ditujukan untuk melayani nafsu
sampah manusia bejat untuk memuaskan hasrat dan orientasi seksualnya secara
liar. Kesehatan reproduksi bukan ditujukan untuk melayani dan menyuburkan
perzinaan, homoseksual, lesbianisme, dan sebagainya; baik langsung maupun tak
langsung.
Keempat, Setiap
pelayanan, edukasi, informasi, dan konseling kesehatan yang diberikan dan
difasilitasi pemerintah kepada rakyat tidak boleh bertentangan dengan Aqidah
dan Syariah Islam. Semua pelayanan dan edukasi kesehatan itu tidak boleh
dimaksudkan untuk mendorong rakyat (khususnya remaja yang aktif secara seksual)
untuk melakukan perbuatan amoral (zina). Tidak boleh pula dimaksudkan
memberikan pemahaman yang keliru baik mengenai norma
maupun realitas kesehatan reproduksi. Tidak boleh misalnya, ada anjuran memakai
kondom bagi remaja yang akan berzina dengan pacarnya atau akan beranal seks
dengan teman homonya. Seharusnya, anjuran yang diberikan adalah agar tidak
berzina dan melakukan perilaku homoseksual.
Kelima, Setiap tindakan
medis yang diberikan tenaga kesehatan tidak boleh menyalahi Syariah Islam.
Artinya, tolok ukur tindakan medis yang baik bukan sekedar dilihat dari segi
mutu dan keamanannya secara medis, tapi juga dilihat dari segi kesesuaiannya
dengan syariah. Misal, tidak boleh melakukan aborsi walaupun aborsi aman, jika
aborsi itu diharamkan syariah. Yaitu tanpa indikasi medis yang kuat (ancaman
kematian ibu). Jadi, konsep aborsi aman adalah bertentangan dengan syariah
v Hukum Aborsi
Abdurrahman
Al Baghdadi
(1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan
bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika
dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa
kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya.
Tetapi
para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya
ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang memperbolehkan
aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli
(w. 1596 M) dalam kitabnya An-Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk
yang bernyawa. Ada
pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami
pertumbuhan. Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M)
dalam kitabnya At Tuhfah dan Al
Ghazali dalam kitabnya Ihya`
Ulumiddin.
Bahkan Mahmud Syaltut,
mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel
sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada
kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk
menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati
dan dilindungi eksistensinya.
Akan makin jahat dan
besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih
besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang
atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam,
halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada
Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Usman, 1994, Agama
Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990,
Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini,
halaman 77-79).
Pendapat yang
disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah
ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh
terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud
berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
“Sesungguhnya
setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk
‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam
bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Ahmad, dan Tirmidzi)
Maka dari itu, aborsi
setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk
yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk
dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada
dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena
kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.”
(QS Al An’aam : 151)
Berdasarkan dalil-dalil
ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4
bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak
kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun aborsi sebelum
kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda
pendapat dalam masalah ini.
Akan
tetapi menurut pendapat Abdul Qadim Zallum (1998) dan Abdurrahman Al
Baghdadi (1998), hukum syara’ yang
lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40
(empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada
saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram.
Dalam hal ini hukumnya
sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniupan ruh ke dalam janin.
Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka
hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa
Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ,
Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati,
halaman 45-56; Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam,
halaman 129 ).
Dalil syar’i yang
menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah
hadits Nabi SAW berikut :
‘Jika
nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus
seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat
pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya.
Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah),’Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau
tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?’ Maka Allah kemudian memberi
keputusan…” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud
RA)
Dalam
riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :
‘(jika
nutfah telah lewat) empat puluh malam…’
Hadits di atas
menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota
tubuhnya, adalah setelah melewati 40 atau 42 malam.
Dengan demikian,
penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah
mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud
dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.
Berdasarkan uraian di
atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan
menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
‘Rasulullah SAW memberi
keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur
dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau
perempuan…’ (HR.
Bukhari dan Muslim, dari Abu
Hurairah RA) (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan
aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh
(ja’iz) dan tidak apa-apa.
Ini disebabkan bahwa
apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia masih berada dalam
tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang
menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Namun demikian, sebagai
perkecualian dari haramnya aborsi pasca 40 hari usia janin, dibolehkan melakukan
aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya,
jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu
akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti
ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa
ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam,
sesuai firman Allah SWT :
“Barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS Al Maidah
: 32)
Di
samping itu aborsi dalam kondisi seperti
ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasulullah SAW telah
memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah SAW bersabda :
‘Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian !’ (HR. Ahmad)
Kaidah fiqih dalam
masalah ini menyebutkan :
Idza
ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima
“Jika
berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih
ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi
Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).
Berdasarkan kaidah ini,
seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan
itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya.
Memang mengggugurkan
kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika
tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi
bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada
menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan
keberadaan janin tersebut (Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar