Minggu, 12 Mei 2013

PENDIDIKAN YANG DEMOKRATIS UNTUK MASA DEPAN



PENDIDIKAN YANG DEMOKRATIS UNTUK MASA DEPAN
By: Kanom, S.Pd.

Pendahuluan

Latar Belakang
Realitas Pendidikan kita
Sekarang kita berada  pada abad   21 dan  milenium  ketiga. Siap atau tidakkah kita akan berhadapan  dengan sejumlah  tantangan yang  bersifat  individual maupun bangsa secara universalnya.
Era Milenium yang sedang kita tapaki bersama ini, merupakan sebuah  era dimana kekuatan-kekuatan global  mendeterminasi  hampir setiap aspek kehidupan  umat manusia.Era ini menurut Kinichi Ojmoe,1996 yang dikutip oleh Omo Adma dalam  tulisannya yang berjudul “Pendidikan: Praktek Pembebasan,” memprediksikan   merupakan era transisi teritorial yang sangat penting, dimana  keutuhan  sebuah negara nasional   (nation state)  mulai rapuh dan pada akhirnya lenyap. Melalui dukungan teknologi informasi yang  canggih, dunia pemikiran, bisnis, politik dan aspek kemanusiaan lain     yang  terjadi di suatu  tempat, bisa dengan  mudah  menjadi isu global.Dunia Internasional yang terdiri atas  ratusan negara dan milyaran jumlah  penduduknya ini,  tak ubah sama seperti  perkampungan gobal, katanya Omo Adma dalam  “Pendidikan:Praktek Pembebasan”.
Berdasarkan gambaran diatas, era ini di tengarai  banyak  pihak  sebagai  era dimana kompetisi sumber daya insani menjadi sangat ketat. Artinya, siapapun yang memiliki keunggulan insan ( individual ), misalnya spiritual, intelektual  dan skill, dapat  diduga  akan menguasai  jalannya sejarah, begitupun sebaliknya jika seseoraang tidak memiliki keunggulan tersebut maka berarti mereka hidup  tanpa harapan dan arti.Untuk  menghadapi era tersebut tidak ada alternatif  lain kecuali  dengan  meningkatkan kualitas sumber daya manusia ( SDM ). Dan kata kunci untuk pengembangan SDM adalah pendidikan.
Kondisi  pendidikan kita dewasa ini disadari masih  berada dalam  situasi   yang memprihatinkan. Pendidikan belum menempati posisi sentral  dan prioritas dalam  upaya pembangunan  bangsa. Hal itu  tercermin dari rendahnya anggaran  pendidikan, kurangnya sarana pendidikan, minimnya  kesejahteraan guru  dan tenaga pendidikan  lainnya yang kurang menunjang, rendahnya partisipasi masyarakat yang mengakibatkan  mutu pendidikan makin menurun.
Berdasarkan laporan  UNDP pada tahun 2000 tentang sumber daya manusia         ( SDM ) menunjukkan Indonesia pada urutan 109, jauh dibawah Malaysia (61) dan Brunei (32). Dalam laporan UNESCO belakangan, mutu pendidikan  Indonesia pada urutan  119  di  dunia, jauh dibawah kebanyakan Negara berkembang.  Perguruan tinggi kebanggaan Nasional kita belum menduduki peringkat 50 dari 104  PT sejenis di Asia Pasifik, menurut Asiaweek. Mengapa demikian? karena usaha selama ini cenderung  bersifat tambal sulam (insidental), tidak menyentuh  akar masalah dengan tepat.Tekanan “budaya proyek” juga sering menyebabkan  usaha melenceng  dari akar masalah.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan   mengakibatkan  lemahnya peranan-peranan  lembaga-lembaga pendidikan sosial yang menjadi basis pendidikan moral. Tanpa menafikan bahwa pendidikan  kita telah teraleanasi. Hal ini  tampak  secara empiris ketika pendidikan menjadi sekedar pasar atau mall,dimana pendidikan merupakan sebuah komoditi yang didapatkan oleh orang dengan mengeluarkan sejumlah uang. Kegiatan  pendidikan tidak membantu  manusia muda menemukan identitas, kepribadian, nilai-nilai  perjuangan  hidup, atau bisa diakatakan bahwa pendidikan hari ini telah jauh  dari harapan awal kenapa pendidikan itu lahir yaitu memanusiakan manusia tetapi malahan sebaliknya pendidikan kita melahirkan manusia – manusia yang tidak manusiawi ( menipu,mencuri,bahkan dengan ilmunya membodohi orang lain). Pendidikan kita hari telah membuat setiap orang menjalaninya merasa terasing dari proses pembentukan kepribadian, pembudayaan adiluhung, hal itu terjadi karena  Pendidikan telah menjadi komoditas politik                                                                                                                                                                                   dan  ekonomi yang didalam syarat dengan muatan  nilai – nilai yang ingin disampaikan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang – orang yang menentukan dan mengendalikan pendidikan itu sendiri ( Negara ). Realitas itu bisa kita cek dengan  proses Pendidikan  yang hanya mengejar pencapaian  target kurikulum yang tidak jelas arahnya yang pada akhirnya terakumulasi dalam pengejaran  angka-angka ( nilai )sebagai sebuah indikator keberhasilan pendidikan, sehingga jangan heran kalau ada yang melakukan manipulasi nilai rapor maupun NEM.
Pada sisi yang  lain, hak pendidikan anak  tidak lain adalah  haknya  untuk  memperoleh pendidikan yang layak  dan  beradab.Bangsa  ini semakin lama semakin merasakan  bahwa ada  ketidakadilan  yang sangat nyata dan terang benderang  yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Hak untuk memperoleh pendidikan  yang layak dan  beradab tidak  diberikan  kepada sebagian  masyarakat,  khususnya golongan  ekonomi  menengah.   Kesenjangan  pendidikan menjadi sedemikian mengerikan. Kesenjangan  itu terjadi bahkan hampir dalam segala sudut penglihatan:kesenjangan antara pusat   dan pinggiran, kesenjangan antara jawa dan luar jawa, terutama Kawasan timur Indonesia, kesenjangan antara kaum miskin dan  orang kaya dalam menikmati pendidikan. Seakan-akan hak memproleh pendidikan  yang  layak dan beradab itu  hanya  dipunyai oleh sebagian masyarakat, sedangkan sebagian lainnya harus puas dengan   keadaan mereka sebab memang ada hambatan sosial,  sruktur,  kultural, bahkan, geografis  yang dipandang  sudah menjadi ‘takdir’
Carut marut dan aleanasi pendidikan  terindikasi dengan berubahnya wajah dunia kita menjadi hutan  belantara, dimana bahasa global itu adalah kekuatan besi dan baja, bahasa bisnis kita adalah persaingan  dan bahasa politik  kita adalah penipuan, bahasa sosial kita adalah pembunuhan,  bahasa jiwa kita adalah kesepian dan keterasingan. Kita adalah masyarakat sipil yang berwatak  militer. Kita adalah manusia-manusia sepi di tengah keramaian. Kita adalah manusia-manusia merana di tengah  keberlimpahan.. Dalam  hal  ini terjadi  tawuran, narkoba, perjudian, perkosaan, pelacuran, permusuhan dan lain-lain  yang begitu marak  telah  menjadi bukti kuat untuk menjelaskan kondisi   diatas. Aleanasi pendidikan telah  mengakibatkan  oreantai  pendidikan  yang akan mencerdaskan kehidupan anak bangsa menjadi  hanya  sekedar mitos.

Rumusan masalah
Dari  beberapa paparan diatas, dapat diidentifikasi ada beberapa masalah.
1.      Komitmen nasional terhadap pendidikan masih lemah, terutama dari pihak legislative dan  eksekutif. Dalam arti kesadaran tinggi dengan bentuk pengambilan kebijakan  yang kongkrit  bagi pendidikan, terkait dengan anggaran  pendidikan  20% dari APBN dan APBD belum terealisasi  sepenuhnya, biaya kompensasi BBM  yang untuk pendidikan masih rendah dan itu juga belum sepenuhnya dapat disalurkan dengan baik, privatisasi/komersialisasi  pendidikan dan lain-lain  masih  banyak akan  mengalami permasalahan  dalam dunia pendidikan kita di Indonesia dan propinsi NTB khususnya.
2.      Pandangan filosofis dengan tiga  pertanyaan kunci  perlu dijawab dengan  pandangan   baru  untuk  menghadapi  tantangan  abad 21; apa itu pendidikan?  Apa produk pendidikan? Bagaimana mutu  dan pemerataan pendidikan? Karena selama ini pendidikan  dianggap sebagai proses pengubahan perilaku, yang berimplikasi ada  yang berhak  mengubah dan ada yang di ubah obyek. Pandangan  ini cenderung paternalistik, sentralistik,  birokratis, dan menekankan keseragaman.
3.      Sistem  manajemen sentralistis-  birokratis dan tak tepadu. Dengan  otonomi daerah, desentralisasi pendidikan sudah mulai. Tetapi, tampaknya timbul  kegamangan diberbagai daerah. Dengan   tiga pandangan filosofis tadi.  Kelemahan dasar sistem manajemen ini  adalah; tidak mendorong kreativitas dan kemandirian, tidak mengakomodasi keberagaman yang merupakan  ciri khas I
4.      Indonesia dan tidak mendorong berkembang demokratisasi dan transparansi, karena sistem ini perlu direformasi menjadi sistem yang  desentralis-demokratis-transparan.
5.      Masih berlaku pengajaran paternalistic-feodalistik-birokratis. Pola pengajaran klasikal,  sangat  bergantung pada guru/dosen kemudian bergantung pada atasan, serta sikap  guru/dosen yang feodalistik (pengaruh budaya lama disebagian daerah)masih dominan di sekolah-sekolah / PT di Indonesia.  Akibatnya (1) kemandirian dan kreativitas peserta didik lamban  berkembang, (2) keberagaman sering  tak terakomodasi, dan   (3) mutu pendidikan dalam arti diatas sulit tercapai.

Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
1.      Membongkar realitas pendidikan kontemporer dengan berbagai macam permasalahan yang ada didalamnya.
2.      Mencari Konsep pendidikan untuk masa depan.
      Kegunaan
1.      Untuk legislatif dan eksekutif mampu melahirkan sebuah kebijakan pendidikan yang lebih demokratis, dan bersifat partisipatoris.
2.      Untuk pelaku pendidikan bahan pertimbangan dalam  melakukan proses pendidikan dan pengajaran.
3.      Untuk masyarakat dapat merubah pola pikirnya bahwa pendidikan itu  harus jauh dari watak feodalistik, kapitalistik dan mileristik sehingga proses pendidikan bisa lebih demokratis.

Pembahasan

Hakekat Pendidikan
Apa Urgensinya pendidikan itu?
                  Pendidikan sebagai proses yang dilakukan  oleh suatu  masyarakat dalam  rangka menyiapkan generasi penerusnya agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya yang mereka anut, sesungguhnya merupakan salah satu tradisi umat manusia yang sudah hampir setua usia manusia. Pendidikan memang sejak dahulu kala menjadi salah satu  bentuk usaha  manusia dalam  rangka mempertahankan  keberlangsungan  eksistensi kehidupan  maupun budaya mereka. Dengan kata lain, pendidikan sesungguhnya  dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan  keberlangsungan  eksistensi mereka. Pendidikan, memang muncul dari dalam berbagai   bentuk dan  paham lain. Pendidikan lebih diyakini sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat peningkatan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak rahasia alam raya dan manusia. Namun banyak praktisi dan pemikir pendidikan yang menempatkan pendidikan justru sebagai wahana untuk meciptakan keadilan sosal, wahana untuk memanusiakan  manusia, serta wahana untuk membebaskan  manusia dan  sebaga modal manusia untuk meneruskan dan   berusaha untuk menjaga dan mempertahankan kehidupan mereka. Itulah makanya, pentingnya pendidikan bagi umat manusia, banyak peradaban manusia yang “ mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga keberlangsungan  pendidikan. Misalnya di kalangan muslim ada tradisi keyakinan keagamaan”menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi kaum muslim lelaki maupun perempuan.Atau ‘ tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.Semua anjuran tersebut semata-mata didasarkan karena keyakinan bahwa eksistensi umat manusia akan terancam jika pendidikan diabaikan.
                        Dalam perjalanan peradaban manusia selanjutnya, mereka senantiasa menjaga dan melanjutkan  tradisi pendidikan  melalui berbagai bentuk dan institusi pendidikan. Masing-masing model dan bentuk pendidikan manusia  tersebut saling berlomba untuk melakukan pendidikan tersebut, lamban laun memunculkan berbagai  bentuk dan institusi pendidikan.yang tercatat dalam  sejarah pendidikan, sebagian besar telah punah. Adapun yang masih bertahan, Institusi pendidikan itu misalnya saja  Academia di Yunani, padepokan di Monestery dikalangan Gereja, Madrasah dikalangan masyarakat muslim ataupun Santniketan di India. Salah satu institusi  pendidikan yang sekarang  menjadi model yang dominan adalah yang dkenal dengan “ Sekolah’ ataupun Universitas.
   Sejarah perjalanan perkembangan   keyakinan dan  pemikiran umat manusia tentang pendidikan  juga telah  melahirkan  berbagai ideologi serta paradigma tentang hakekat, tujuan dan metode pendidikan  yang berbeda-beda.

Beberapa pengertian pendidikan dan beberapa aliran pendidikan.
   Pendidikan merupakan  wahana dalam  mengembangkan kehidupan manusia. Secara umum  dalam wacana kajian  tradisonal pendidikan  sering di beri makna sebagai wahana sosialisasi dan transfer.Dalam melihat pendidikan  sebagai satu  media perubahan,akan terdapat banyak sekali perbedaan paradigma ini meupakan   perbedaan dalam  memandang dan memaknai  hakekat manusia, cita-cita ideal masyarakat yang mau dibangun serta perubahan  dan arah perubahan.Perbedaan cara pandang ini  kemudian melahirkan  perbedaan dalam  memposisikan  peran dan fungsi pendidikan. Sehingga melahirkan output yang memiliki kesadaran yang berbeda pula.
Ada beberapa paradigmadari pendidikan,yaitu: paradigma konservatif,
Paradigma liberal dan  paradigm kritis.
Paradigma konservatisme maupun intelektualisme, bagi sekelompok masyarakat pendidik yang berangkat dari pendirian  bahwa hakekat pendidikan  adalah merupakan  wahana  dalam  mensosialisasikan  dan mentransfer nilai-nilai  serta budaya masyarakat.Atau demi   untuk menjaga nilai-nilai yang ada  dan mempertahankan  nilai-nilai tradisi yang sudah mereka anut dari generasi tua ke selanjutnya . masa depan merupakan perwujudan dari  masa lalu yang gemilang, maka pendidikan berfungsi sebagai sosialisasi dan transfer budaya masa lalu serta tetap mempertahankan keberlanjutannya. Kesadaran yang terbangun oleh paradigma pendidikan seperti ini adalah kesadaran koservatif.
                        Sementara itu  dengan berkembangnya peradaban Liberalisme,seperti aliran Experimentalisme dan juga Behaviorisme, mereka berpendirian bahwa pendidikan harus senantiasa membuat masing-masing individu manusia untuk memiliki personal behavior yang efektif sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sistem politik dan struktur ekonomi yang penuh dengan  persaingan  tersebut, siapa yang kuat dan pandai akan menang, dan mereka yang kalah akan tersingkir. Pemikiran yang seperti ini merupakan pemikiran orang-orang yang berparadigma   liberal Paradigma Liberal ini,   disatu sisi  melihat pendidikan  sebagai sarana dalam mepertahankan  kondisi sosial yang mapan  yang perlu tetap  dilestarikan. Institusi pendidikan  harus tetap dijadikan  netral hanya sebagai tempat pengajaran dan pelatihan bagi  pemenuhan kebutuhan  praktis, dalam melihat masa depan dan perubahan paradigma liberal mengasumsikan  bahwa kondisi yang telah dicapai  masyarakat saat ini  sudah baik dan  ideal  sehingga perlu  di jaga, dan dilestarikan. Setiap perubahan  tetap dalam  kerangka mempertahankan, melestarikan  atau koreksi kondisi  saat ini yang berarti kemudian membangkitkan kesadaran naif.                    
                        Paradigma kritis dalam dunia pendidikan memandang  bahwa pendidikan merupakan  bagian dari  sebuah sistem yang tidak netral, selalu dipengaruhi oleh kondisi  sosial dan politik (ideologi dan kekuasaan ). Maka pendidikan  harus berfungsi sebagai pendidikan  itu sendiri dalam arti  mampu membangkitkan kesadaran kritis  manusia dalam  melihat realitas kehidupan. Pendidikan harus mampu menyadarkan manusia akan perannya dalam perubahan sosial menuju masyarakat yang adil, sejahtera dan   humanis. Kondisi sosial yang ada saat ini harus terus dilihat dari ukuran  cita ideal, maka tugas pendidikan secara sadar memproduksi kesadaran peserta didik menuju kearah tercapainya cita-cita ideal. Ketika terjadi ketimpangan  atau eksploitasi oleh penguasa dan kekuasaan, maka menjadi tanggung jawab institusi pendidikan menyatakan keberpihakannya kepada objektivitas kebenaran (rakyat tertindas). Paradigma ini tujuannya membangun kesadaran kritis manusia.
                        Manusia akan terus belajar dari pengalaman mereka  tentang penyelenggara pendidikan.Manusia mulai merasakan bahwa pendidikan  dalam perjalanannya semakin dirasakan tidak terbebas dari kepentingan sosial, ekonomi, dan  politik. Bahkan pendidikan  lambat laun dirasakan  telah digunakan oleh  para penguasa demi melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan  dan dominasi mereka. Saat itulah muncul kritik bahwa pendidikan sudah tidak netral lagi, melainkan sebagai sarana  untuk “memproduksi” sistim dan struktir sosial yang tidak adil seperti relasi kelas, gender dan warna kulit ataupun sistem relasilnya.
                        Pada hakekatnya pendidikan sebagai  strategi humanisasi. Pendidikkan dipahami sebagai pengajaran yang menekankan  pada bagaimana mendidik manusia dalam mengenal diri dan dunianya.Praktek pendidikkan bagi pengenalan  realitas diri dan dunia, mestilah  merupakan praktek yang membebaskan  mereka dari segala bentuk ketertindasan. Pendidikan dalam usaha mengenal potensi diri  ini menekankan  bagaimana manusia menyadari segala kelebihan dan potensinya sebagai  makhluk manusia. Manusia yang dikatakan sebagai binatang yang berakal oleh Aristoteles, mampu menyadari diri dan berintegrasi dengan dunia serta menciptakan sejarah peradabannya.Pendidikan sebagai praktek pembebasan menekankan  pada kesadaran manusia akan perannya sebagai  pencipta duniannya sendiri yang mengalami dunia secara dialektis dan kritis serta mampu merefleksikan dirinya dalam  merubah dunia sesuai dengan fitrahnya. Untuk memahami hakekat pendidikan  sebagai sebuah praktek pembebasan kita terlebih dahulu kita harus memahami hakekat manusia dan eksistensinya sebagai makhluk yang mengenal, berada didalam dan bersama dunia: Pemahaman akan  hakekat manusia  diawali akan pemahaman akan perbedaannya dengan makhluk yang lain. Manusia memiliki keunikan  berupa kemampuan manusia mengenal  keberadaan dirinya yang berada dan bersama dengan dunia, serta mampu berintegrasi dengan dunia, berbeda dengan binatang yang hanya berada dalam  dunia tanpa mengetahui keberadaan dirinya. Binatang hanya digerakkan  dengan naluri tidak mampu merefleksikan apa yang ia lakukan. Kesadaran akan potensi diri  kemudian membawa manusia pada peran eksistensialnya sebagai makhluk reaktor yang membuat sejarah. Pemahaman ini melahirkan keharusan bagi  manusia mengenal dirinya sebagai subyek dari perubahan  yang harus mengenal  realitas sosial secara kritis berarti kemampuan manusia mengenal  hubungan relasi  kekuasaan  yang menindas dan budaya hegemonik yang melahirkan  budaya diam ditataran rakyat. Pendidikkan menurut mereka aliran ini merupakan proses ”dekonstruksi” yang memproduksi wacana untuk membangkitkan kesadaran kritis kemanusiaan. Pendidikan seperti ini identik dengan  “proses pembebasan manusia”.Pendirian ini berangkat dari asumsi dan struktur sosial yang ada yang telah mengalami proses dehumanisasi.

Pendidikan dan  pengajaran yang Dialogis, partisipatoris dan Membebaskan.
                         Berdasarkan pandangan diatas, maka pendidikan mesti  dirumuskan  sebagai pengenalan realitas sosial manusia  dan dirinya sendiri. Sistem pendidikan harus bertumpu pada aksis praksis, yakni prinsip aksi dan refleksi total dan secara terus menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas. Pendidikan bertumpu pada penyadaran tidak  memisahkan  antara prinsip berpikir,berbicara,dan berbuat namun merupakan satu kesatuan yang dialektis. Pendidikan ini merangsang kearah diambilnya suatu tindakan, kemudian tindakan itu  direfleksikan kembali dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik demikian berlangsung secara dialektis sepanjang hidup.Dengan daur belajar seperti ini, setiap anak didik dilibatkan  secara langsung terhadap permasalahan   permasalahan realitas sosial   yang ada. Pengajaran di ruang-ruang kelas, ruang diskusi, seminar, ataupun dimana saja meniscayakan sebuah komunikasi pengajaran yang dialogis, melibatkan partisipasi semua pihak  dalam mengungkap realitas kehidupan  yang dilandasi semangat demokratis dan membebaskan, saling menghargai, pengetahuan masing- masing tanpa ada dominasi, semua berdasarkan atas dasar prinsip menemukan  bersama ilmu pengetahuan sehingga melahirkan kesadaran kritis dan hasrat transformatif. Pengajaran yang dialogis pada tingkatan kognitif bertujuan mengenbangkan sikap  ingin mengetahui sebagai  kreator yang mampu mengetahui moment  dalam mencipta ilmu dan pengetahuan itu dipelajari secara kritis. Pada tingkatan afektif pendidikan dialogis partisipatoris mengharuskan siswa mampu mengembangkan sikap demokratis menjunjung tinggi kebebasan dengan tetap kritis terhadap realitas sosial. Sehingga kemudian tercermin pada tindakan psikomotorik manusia yang berbentuk kritis terhadap realitas sosial dan hasrat untuk merubahnya. Pengajaran kritis menekankan pada proses pengertian bukan proses proses menghafal secara mekanis. Proses pengertian menyetakan kata-kata sekaligus mewakili dunia kesadarannya dan berdasarkan  perbendaharaan  katanya sendiri  bukan  kata guru bagaimanapun sederhananya.  Sehingga merupakan pendidikan praxis untuk merubah dunia.
Sistem pendidikan sebagai Sub sistem Sosial.
                        Pendidikan sebagai sebuah sub sistem tentu akan dipengaruhi oleh sub sistem sosial yang lebih besar.Maka memahami sistem pendidikan tentu mensyaratkan akan pemahaman tentang relasi sistem lainnya. Bagaimana dengan melihat kenyataan ini  pendidikan tentu tidak bersifat netral. Pendidikan netral mau tidak mau tidak mau kemudian melanggengkan  kekuasaan status quo yang diktator dan menindas. Kekuasaan menindas kemudian memproduksi  kekuasaan melalui seluruh perangkat sistem pemerintahan dan birokrasinya, indoktrinasi, serta instrumen budaya sampai menciptakan budaya bisu terhadap penindasan. Seperti munculnya berbagai kebijakan pendidikan  yang melanggengkan  kekuasaan menindas dengan menyengsarakan  rakyat tertindas (Indonesia masa orde baru). Kapitalisme hari ini  dengan kepentingan borjuis telah menjadi sebuah rantai raksasa lewat berbagai  insrtumen penindas rakyat. Pendidikanpun menjadi  salah satu  bagiannya. Kurikulum pendidikan  dijadikan semekanis mungkin untuk mensosialisasikan  dan melanggengakan  nilai-nilai kapitalistik dan pro-elit yang menindas. Maka pendidikan harus mampu menjadi obyek penyadaran terhadap kondisi realitas menindas dan membangun kekuatan untuk merubah kondisi tersebut. Pendidikan sebagai sarana produksi kesadaran pembebasan dengan menolak ideologi dominan yang menindas.

Bagaimana  sesungguhnya komoditifikasi pendidikan terjadi????atau bagaimana dengan  ANCAMAN DUNIA PENDIDIKAN?
a.      Kapitalisasi pendidikan
Kapitalisasi pendidikan  melihat bahwa bidang pendidikan merupakan  bagian yang harus  bertumpu pada bidang ekonomi, dimana pendidikan  merupakan  bagian yang harus bertumpu pada bidang ekonomi, dimana pendidikan  hanya di reduksi  sebatas pendidikan  yang ekonomistik dengan oreantasi kebutuhan  pasar tenaga kerja. Kapitalisasi pendidikan  merupakan wahana menjaga ekonomi kapitalistik yang menindas dan eksploitasi tetap terjaga. Kapitalisasi pendidikan  menjadi  fenomena manakala menyaksikan bagaimana IMF mendesak bangsa-bangsa dunia ke-3 melakukan privatisasi  pendidikan dengan  menyerahkan sektor pendidikan kepada swasta. Menjadi keniscayaan kemudian  manakala peran swasta sudah merambah bidang pendidikan, mau tidak mau  pendidikan menjadi  lahan investasi  dan rebutan ekonomi  dengan perhitungan untung rugi.. Fenomena otonomi pendanaan  kampus dengan BHMN mengakibatkan tingginya biaya pendidikan  atau maraknya kursus dan pendidikan- pendidikan  sesuai dengan lowongan  kerja dan pasar serta rendahnya anggaran pendidikan  menjadikan peran  negara menjadi  sangat subordinat dengan pasar global menjadikan  pendidikan negara kita semakin terpuruk saja. Berdasarkan  berbagai survei internasional  menunjukkan bahwa pendidikan  kita sangat jauh tertinggal  di banding negara- negara berkembang lainnya.
b.      Komoditifikasi pendidikan
      Komoditifikasi merupakan proses transformasi yang menjadikan  sesuatu menjadi komoditi atau barang untuk di perdagangkan demi mendapatkan  keuntungan. Komoditifikasi merupakan salah satu imbas ketika bidang pendidikan  menjadi logika ekonomi. Logika ekonomi yang bertumpu pada modal dengan  tiga bentuk aksi, akumulasi, eksploitasi, dan ekspansi. Dasar asumsi dan filsafat kapitalisme yang  menitik beratkan  pada individualisme dan modal menjadikan peran negara hanya sebatas regulator dengan perhitungan untung dan rugi bukan lagi apakah  fungsi pendidikan  tercapai atau tidak. Komoditifikasi pendidikan  merupakan turunan langsung  dari kapitalisasi pendidikan . Dimana institusi  dan lembaga pendidikan  direduksi menjadi  komoditas yang bisa di perdagangkan  dan mencari keuntungan. Pendidikan  dihitung dengan seberapa besar keuntungan yang  di hadapkan  ketika melakukan  investasi  pendidikan  dengan mendukung metode gaya bank.
                  Sistem pendidikan nasional diarahkan pada kepentingan kapita,lisme industrial semata dan hanya mengutamakan  pengetahuan ekonomis pragmatis serta teknologis.Pengetahuan- pengetahuan ekonomis, pragmatis, dan teknologis memang diakui sebagai  salah satu antisipasi dari perkembangan global.Namun bagi bangsa kita,menurut H.A.R.Tilaar, masih terlalu jauh. Apalagi jika harus langsung dihadapkan dengan free market global, dimana output pendidikan harus  bersaing dengan negara maju yang licik.
                  Kini, sepatutnya sistem pendidikan kita mulai mengalihkan  pandangan matanya, walaupun harus diakui sudah terlalu sayu, terhadap kondisi sekelilongnya. Dimana lubang-lubang kemiskinan, praktek budaya bisu, dan notabene itu tak pernah di sadari oleh dunia pendidikan kita.
c.       Disvaritas anatara lulusan dan pertumbuhan lapangan kerja
d.      Disvaritas/Diskriminasi desa kota, Jawa dan Luar Jawa.
e.       Ideologisasi  pendidikan bagi Guru dan fasilitas pendidikan.

            Maka pendidikan  yang seharusnya menjadi  wahana pembebasan manusia (manusia kritis dan aktif) ternyata malah menjadi pasif dan tumpul. Salah satu penyebab krisis ini adalah  pendidikan yang masih memaknai  metode gaya bank. Metode yang  melihat manusia sebagai gelas kosong dan siap diisi  serta tidak mampu mengembangkan  rasa kengintahuan  siswa akan  kebenaran ilmu pengetahuan  serta teori  ataupun bagaimana metode ilmiah bisa menjadi  seperti apa yang kita lihat hari ini.peran negara di satu sisi untuk memberikan partisipasi  rakyat dalam  mendapatkan akses terhadap pendidikan  dan pengajaran (psl 27 UUD 45) sedikit demi sedikit mulai di kurangi salah satu caranya dengan mengurangi  anggaran pendidikan  saat rakyat dalam krisis yang berakhir pada pencabutan subsidi pendidikan dan  agenda liberalisasi  dan privatisasi  pendidikan  (Sisdiknas). Pengurangan pembiayaan  di satu sisi kemudian di sisi  yang lain  melakukan ideologisasi  dengan memasukkan slogan-slogan  dan jargon kekuasaan dan militerisasi  serta sentralisasi pendidikan  dengan  p-4 (masa orba). Pelepasan peran negara pada pendanaan di satu pihak  dan pungutan  di pihak  birokratisasi dan ideologisasinya memperlihatkan bagaimana watak dominan negara sesungguhnya yang otoriter dan dogmatis serta berpihak  pada imperialis dunia. Menjadi gambaran pendidikan  yang mahal, fasilitas pendidikan  yang sangat memprihatinkan  dengan melihat kondisi  fasilitas sekolah terpencil  dan pedesaan hanya mereka yang kaya  dan banyak duitlah yang bisa leluasa menikmati pendidikan, rakyat kecil semakin termarginalkan.Bagaiaman nasib orang miskin,  buruh,  kaum miskin kota petani desa miskin yang nota benenya 80% penduduk Indonesia didesa bagaimana kemudian  nasib ribuan buruh di –PHK tanpa pesangon dan pengangguran  yang membludak siapa yang akan  membela hak mereka..
   Secara  praktis proses pendidikan  yang  ideal harus mempu membentuk manusia yang dewasa secara intelektua, moral, sosial, dan  emosional. Kedewasaan intelektual tidak didasarkan  pada angka-angka dalam report, NEM,STTB,  tetapi diukur dengan sejauh mana seseorang mampu membedakan antara yang benar dan salah.Kedewasaan intelektual  mendorong setiap manusia selalu mencari dan mengkaji dari berbagai referensi. Kedewasaan moral  berkait dengan  kemampuan  membedakan antara yang baik dan buruk.Kemampuan membedakan perilaku  yang baik dan buruk menempatkan manusia memiliki kepribadian dan karakter.Kedewasaan sosial berarti  bahwa pendidikan  hanya bermakna bila disosialisasikan. Apa yang digeluti di ruang kelas dipertanyakan, dikaji dan diterapkan  dalam kehidupan  konkret dalam  persoalan  hidup di tengah masyarakat. Kedewasaan emosional , mengandung arti setiap  pribadi mampu menguasai diri dan  perasaan-perasaan serta mampu mengekspresikannya
            Pendidikan nasional harus mampu menjadikan masyarakatnya berpegang teguh  pada nilai-nilai kebenaran  dengan tidak terlepas dari penguasaan iptek dan informasi karena kemampuan menangkap tema-tema zaman, akan menentukan  keampuan  dalam menangani dunia.
   Kini kita membutuhkan  sebuah sistm pendidikan  aklternatif atau baangkali kita sendiri yang harus menciptakannya bersama semua elemen  yang peduli terhadappermasalahan diduni pendidikan kita. Dimana nantinya, pendidikan lebih beroreantasi pada pembentukan  kesadaran kritis, emansipatoris, inovatif, dan tentunya lulusannya resistensi terhadap kekuasaanyang sewenang-wenang menindas rakyatnya sendiri,tidak sekedar menjadi  hamba pasar. Akhirnya dua nilai pendidikan , idealisme dan  kegunaan , nantinya bisa lebih berjalan seimbang.Dimana Use valuependidikan sebagai  “alat tawar” ketika menghadapi dunia kerja alat lingkungan sosial  bisa berfungsi. Disis lain nilai humanistik dan idealis yang dimilikinya semakin mumpuni untuk memecahkan  dalam tubuh masyarakat bangsa.
        

Solusi Masalah
          Dengan melihat permasalahan dan pembahasan yang disampaikan  diatas maka bisa kita menerapkan beberapa alternatif solusi sebagai berikut:
1.            Membuka kesempatan bagi tumbuhnya kesadaran kritis dan  eksploitatif, dengan cara mendorong perubahan yang progresif ( maju ) atas cara – cara pengelolaan pendidikan dengan menempatkan didik sebagai subyek pelaku bagi tumbuh kembangnya kretaifitas dan eksplorasi nilai -  nilai.
2.            Reformasi sistem manajemen pendidikan yang sentralistis, birokratis dan tak terpadu menjadi sistem desentralisasi, demokratis dan transparan
3.            Membebaskan institusi pendidikan seperti sekolah dari politisasi baik dari kekuasaan maupun birokratis.
4.            Membangun mekanisme kepemimpinan sekolah berdasarkan pada mekanisme rekrutmen yang obyektif yang bersendikan azas bottom up.
5.            Meningkatkan  status, pengakuan dan serta  penghargaan profesional guru dengan mengembangkan paradigma pemberdayaan kemampuan penelitian aksi
6.            Memperkuat landasan profesi guru dengan meberikan otonomi pada sekolah yang bersangkutan  untuk membuat usulan – usulan yang diperlukannya;  bantuan bimbingan  teknis, isi kurikulum pokok, standarisasi mutu, pemberdayaan pada metode, teknik dan pendekataan yang mutakhir dalam pendidikan          

                                                                                                                  







Daftar pustaka



Didaktika Edisi No.29/ThXXXI/2005. Universitas Negeri Jakarta.Jakarta
Darmadi,Yudi.2004. Makalah Pembangunisme pendidikan. Seminar WMPM & HMP2K. Mataram

Gerbang Majalah Pendidikan.Edisi 6. Th III.2003. Lembaga penelitian  dan Pengembangan Pendidikan .Yogyakarta.
Freire, Paulo. 1999. Politik Pendidikan Kebudayaan, kekuasaan, dan Pembebasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Freire, Paulo. 1998. Sekolah Kapitalisme Yang Licik. LkiS:Yogyakarta.
Kartono, St.Menembus pendidikan Yang Tergadai: Cacatan Refleksi Seorang. Guru .Galang Press:Yogyakarta .
Wahono,Francis. 2001. Kapitalisme Pendidikan antara Kompetisi dan Keadilan. Insist, cindelaras, Pustaka Pelajar:Yogyakarta.

Sabtu, 11 Mei 2013

Pola Penggunaan Lahan dan Konsumsi Air di Daerah Perkotaan dan Pariwisata Study Kasus di Mallorca



ABSTRAK

Pola Penggunaan Lahan dan Konsumsi Air di Daerah Perkotaan dan Pariwisata
Study Kasus di Mallorca
By: Kanom, S.Pd. dkk


Pulau Mallorca adalah resort Balearic utama dan pengelolaan air yang berkelanjutan merupakan tantangan utama bagi keberlanjutan ekonomi dan ekologi pariwisata sebagai kegiatan ekonomi utama. Pasokan air mengalami kondisi yang kritis karena di pulau sedang dilakukan perluasan oleh basis wisatawan yang disebut "pariwisata yang berkualitas". Sejak pertengahan 1990-an, lahan perumahan digunakan untuk dareah wisata dan penduduk yang kaya telah menyebar ke seluruh pusat-pusat wisata massa yang ada di perkotaan. Peningkatan konsumsis air untuk keperluan di luar ruangan (taman, kolam renang) merupakan konsekuensi langsung dari perkembangan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan konsumsi air per kapita di daerah wisata berkualitas, wisata massa dan daerah perumahan di perkotaan, dan untuk memberikan informasi kuantitatif tentang besarnya konsumsi air oleh taman-taman dan kolam renang. Analisis menggabungkan data konsumsi air dengan geodatabase penggunaan lahan pada skala sub-paket, inventarisasi populasi rinci, dan perkiraan penggunaan air kolam. Hasil menunjukkan bahwa pariwisata yang berkualitas menghasilkan tingkat konsumsi air per kapita lebih tinggi dari pariwisata massa. Irigasi kebun adalah penyebab utama tunggal konsumsi air tinggi di kawasan wisata kualitas dan menyumbang lebih dari 70% dari total konsumsi daerah-daerah di musim panas. Tetapi bahkan dalam wisata massa dan daerah pemukiman, taman irigasi dihitung hingga 30% dan 20%, masing-masing konsumsi air total di musim panas. Kolam renang dimiliki individu menyebabkan konsumsi air tambahan rata-rata 22 liter / orang / hari. Perkembangan kolam renang dan kebun mewah 'Atlantic' ternyata sebagai salah satu ancaman terbesar bagi pengelolaan air yang berkelanjutan di pulau Mallorca.

 

PENDAHULUAN

Pada saat pasokan air kritis di Mediterania yang diperburuk oleh perubahan iklim, resort wisata memperluas basis wisata mereka dengan kegiatan yang menggunakan kebutuhan air permanen untuk fasilitas dan struktur rekreasi seperti lapangan golf, spa, taman air, kolam renang dan kebun irigasi. Sementara pola penggunaan lahan yang meningkatkan permintaan penggunaan air permanen menyebar, keperluan permintaan pengelolaan air yang lebih efisien menjadi lebih jelas. Sebagai sektor yang dinamis pertumbuhan ekonomi di Mediterania, pariwisata menjadi masalah prioritas yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan dan mitigasi perubahan iklim dan adaptasi. Sebuah keprihatinan umum di Mediterania adalah ketersediaan air, dan peningkatan jumlah kekurangan air sebagai akibat dari perubahan iklim (Hem et al, 2009;.. Lglesias et al, 2007; Scott dan Becken, 2010). Pariwisata merupakan salah satu tekanan pembangunan yang bertepatan dengan kebutuhan untuk mengelola penurunan sumber daya air yang lebih efisien. Banyak resort harus mengatasi peningkatan kebutuhan air dan arus wisata, peningkatan suhu, dan lebih banyak kekeringan. Waduk air sudah di bawah tekanan dan pasokan air semakin bergantung pada desalinasi dan penggunaan kembali air yang diolah. Perkembangan ini mengubah pengelolaan air menjadi tantangan besar bagi negara-negara Mediterania dan sektor pariwisata (Komisi Eropa, 2009: Hem et al, 2009:.. Iglesias et al, 2007). Spanyol secara khusus mengalami booming wisata yang menyebabkan peningkatan permintaan air permanen untuk fasilitas rekreasi, sehingga sektor pariwisata negara itu rentan pada terhadap perubahan iklim.
Dalam istilah ekonomi, pariwisata yang berkualitas dipandang sebagai strategi untuk pertumbuhan yang berkelanjutan lanjut tujuan "matahari dan pantai" mencapai siklus hidup jatuh tempo (Bardolet dan Sheldon, 2008). Diskusi ini menunjukkan bahwa pada saat tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim untuk sektor pariwisata Mediterania menjadi jelas, ada kesenjangan informasi dan pengetahuan berkaitan dengan dampak pariwisata terhadap sumber daya air. Konsumsi air oleh sektor pariwisata tidak didokumentasikan dengan baik oleh statistik saat ini. Informasi lebih lengkap tentang kebutuhan air pariwisata dan berbeda sub-sektor (rumah kedua, fasilitas, kegiatan, dll) yang dibutuhkan oleh otoritas negara dan lokal untuk menentukan prioritas untuk konservasi air atau program manajemen permintaan.
Pembahasan berikut berfokus di pulau Balearic Mallorca di Spanyol karena pulau ini saat ini mulai mengalami masalah harus dihadapi dalam waktu dekat. Mallorca yang berlimpah menggambarkan transformasi ekonomi, masyarakat, dan lingkungan dari resort wisata Mediterani. Selain itu, pulau mencontohkan perlunya kebijakan penggunaan holistik lahan dan pengelolaan permintaan air dalam menghadapi tantangan dengan penyediaan sumber daya air untuk kelangsungan hidup dari industri pariwisata (Essex et a, 2004:!.. Kent et al, 2002). Dengan catatan menarik lebih dari 4 juta wisatawan setiap tahun sejak 1986, Mallorca adalah resort Balearic utama dan salah satu tujuan wisata paling sukses di Mediterania. Dua kali lipat jumlah wisatawan pada pertengahan tahun 1990 dan stabil pada lebih dari 8,4 juta pengunjung setiap tahun sejak 2004 (CITTIB, 2009). Pertumbuhan rata-rata tahunan tingkat 6,7% dalam jumlah wisatawan antara tahun 1960 dan 2009. Resort wisata utama pantai massa pada Mallorca yang dibangun di tahun enam puluhan, selama booming turis internasional pertama, dan pertumbuhan demografi dan ekonomi yang berpengalaman besar. Resort ini melihat dua puluh tahun ekspansi rasional, berdasarkan konstruksi yang tak terkendali sehingga merugikan air, pantai dan sumber daya alam lainnya. Krisis pariwisata mempengaruhi Kepulauan Balearic keseluruhan di akhir 1980-an. Perkembangan ekonomi di negara-negara asal bertepatan dengan biaya relatif meningkatnya kegiatan wisata dan kapasitas penginapan tumbuh lebih cepat daripada permintaan wisata. Di Mallorca, volume pengunjung laju pertumbuhan menurun dari 8,3% (1981-1987) sampai 2% (1988-1992). Namun, hilangnya daya tarik wisata, penurunan konsumsi wisatawan, dan dalam jangka panjang penurunan investasi dianggap lebih parah. Sejak pertengahan 1990-an, perluasan basis wisata Mallorca oleh proliferasi rumah kedua, lapangan golf, dan wisata yacht telah dipasarkan dengan "pariwisata yang berkualitas" panjang. Pendorong utama untuk inovasi dan pergantian dari pelopor pariwisata massal ke pelopor model pariwisata yang lebih beragam keputusan, pollicies dan program yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan dalam industri pariwisata Balearic. Kebijakan yang relevan dimulai pada 1990-an dengan perencanaan dan zonasi dan perlindungan lansekap, dan bergerak ke arah kontrol tanah lebih lanjut dan pengembangan pesisir di tahun 2000-an (lihat Bardolet dan Sheldon, 2008, untuk gambaran kronologis rinci tentang kebijakan penggunaan lahan pariwisata di Balearics) . Di pulau Mallorca, 1991 "Moratorium Hukum", tahun 1995 "Rencana Peraturan pada Pasokan Pariwisata" (Poot) dan "Hukum Wisata New" pada tahun 1998 adalah keputusan kebijakan tengara dari Komunitas Otonomi di Kepulauan Balearic. The 1995 "Kualitas Rencana" adalah rencana global pertama untuk fokus strategi dan tindakan di pasar berkualitas tinggi pariwisata dan produk. Beberapa penulis ditafsirkan perkembangan ini sebagai langkah menuju jenis, lebih berkelanjutan "kualitas" pariwisata (Bardolet dan Sheldon, 2008), sementara yang lain menyoroti strain lingkungan tambah disebabkan oleh booming wisata baru (Schmitt dan Blazquez. 2003). Model wisata kualitas menciptakan permintaan tambahan pada pasokan air dan kualitas, sehingga memperburuk air kritis pulau situasi pasokan. Secara khusus, konsumsi air tumbuh di sektor perumahan dalam negeri telah diidentifikasi sebagai stressor kritis pada sumber daya pulau itu. Pergeseran urbanisasi dan rumah kedua juga tercermin oleh pertumbuhan 14,6% dalam kapasitas hunian sementara kapasitas akomodasi turis hanya meningkat sebesar 2% dari tahun 2001 sampai 2008 (OST, 2010). Konsumsi air perkotaan di Mallorca meningkat sebesar 30% 1998-2007 (OST, 2010), ketika populasi penduduk resmi tumbuh sebesar 27,7% (IBESTAT, 2010).\
Kotamadya Calvia adalah contoh paradigmatik untuk penekanan baru pada kualitas pariwisata. Calvia menyumbang 4,4% dari luas permukaan Mallorca dan mencakup 60km dari garis pantai. Calvia memiliki proporsi lebih dari 60% rumah kedua dan peringkat di antara Santanyi, Alcudia dan Andratx sebagai kota pesisir yang paling menarik, yang tercermin dalam kenaikan harga real estate. Meningkatkan konsumsi air untuk keperluan di luar ruangan (taman, kolam renang) merupakan konsekuensi langsung dari perkembangan ini (Schmitt. 2007).
Pengaruh serupa pola penggunaan lahan wisata pada permintaan air telah dipelajari di Benidorm dan di pantai Alicante (Rico-Amoros et al., 2009). Angka-angka air tertinggi konsumsi ditemukan di daerah wisata dengan rumah-rumah tunggal yang memiliki kebun dan kolam renang. Tidak adanya kolam renang dan taman hasil dalam konsumsi rata-rata dua sampai tiga kali lebih rendah per rumah tangga, per kapita dan di bulan "konsumsi air maksimum (Rico-Amoros et al, 2009., P. 499). Situasi ini mirip Mallorca: selain pariwisata massal dengan infrastruktur terkait, puncak musiman konsumsi air, dan masuknya wisatawan, pemandangan wisata lebih individu dengan karakter yang lebih perumahan telah berkembang. Akibatnya, konsumsi air sangat dipengaruhi oleh penggunaan air untuk kebun dan kolam renang.

Organisasi dari Penelitian
Pertama, metodologi yang diterapkan dalam penelitian ini diatur dalam konteks pendekatan penelitian lain untuk penggunaan lahan dan pola konsumsi air. Kedua, studi kasus diperkenalkan oleh kota Calvia, pemerintah kota wisata yang paling penting di Kepulauan Balearic dan salah satu resort terkemuka Mediterania wisata. Wilayah studi kasus individual dalam kotamadya mewujudkan seluruh jajaran dari massa untuk membentuk kualitas wisata perkotaan dan dampak terkait pada konsumsi air. Ketiga, pengumpulan data dan analisis data yang diterapkan adalah untuk membandingkan tingkat konsumsi air bagi wisatawan yang berbeda dan bentuk perkotaan dan pada basis per kapita akan dijelaskan secara rinci, dengan penekanan khusus pada model pariwisata yang berkualitas. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa setiap tujuan wisata yang mengikuti jalan wisata pengembangan kualitas akan memperburuk kebutuhan air di sektor perumahan dalam negeri.
Tujuan dan Metodelogi Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menguraikan kontribusi lanskap wisata non hotel terhadap permintaan air dibandingkan dengan wisatawan massa yang konvensional dan daerah pemukiman. Dengan perubahan iklim sebagai tantangan umum untuk tujuan wisata utama di Mediterania, analisis ini menyoroti perkembangan saat ini di sektor pariwisata yang memiliki implikasi signifikan bagi pasokan permintaan air. Studi ini menganalisis pola konsumsi air di daerah perkotaan dengan menggunakan data yang diperoleh dalam wawancara rumah tangga yang dikelompokkan berdasarkan aspek ekonomi dan sosial demografi (Domene dan Sauri, 2006; Domene et al, 2005). Metodologi ini disesuaikan dengan konteks di mana informasi yang komprehensif seperti ini sulit untuk mengakses atau mengumpulkan, atau di mana ia telah lolos dari statistik resmi karena akomodasi tidak resmi untuk non hotel, pariwisata perumahan memiliki porsi yang signifikan di daerah perkotaan atau penggunaan lahan wisata. Namun, pariwisata dan rekreasi memiliki dampak signifikan pada sumber daya air melalui tingginya tingkat konsumsi (Komisi Eropa, 2009).
  Penelitian ini menganalisis kontribusi penggunaan air indoor dan outdoor untuk konsumsi air domestik di wisata dan daerah perkotaan dibedakan oleh pola penggunaan lahan. Daerah perkotaan ditandai dengan pariwisata massal dan konsentrasi tinggi hotel besar dibandingkan dengan daerah-daerah di dekatnya yang sudah mulai membangun basis wisata mereka pada pariwisata densitas rendah perumahan di sekitar lapangan golf dan marina. Sebuah daerah perumahan yang tidak dipengaruhi oleh kedua jenis pariwisata digunakan sebagai dasar acuan untuk konsumsi air domestik.