- Berikut adalah merupakan gambaran atau uraian mengenai hubungan antara aliran filsafat Rasionalisme, Empirisme, pandangan Renaisance dan munculnya zaman Aufklarung di Eropa pada abad XVIII serta lahirnya sebagai disiplin ilmu pada abad tersebut dan masa-masa sesudahnya, dan selanjutnya hubungannya dengan timbulnya filsafat ilmu.
Aliran
filsafat Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan
yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang melalului
akallah yang yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu
mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman
hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapatkan oleh akal.
Akal dapat menurukan kebenaran daripada dirinya sendiri yaitu, atas dasar asas
pertama yang pasti. Metode yang diterapkan adalah deduktif. Teladan yang
ditemukan adalah ilmu pasti, adapun filsufnya antara lain adalah Rene
Descrates, B. Spinoza, dan Liebniz. Dimana (Surajiyo, 2010:33).
Rene Descrates
membedakan tiga yang ada dalam diri manusia yaitu (1) innate ideas adalah ide
bawaan yang dibawa manusia sejak lahir, (2) adventitious ideas adalah ide-ide
yang berasal dari luar diri manusia, dan (3) factitious ideas adalah ide-ide
yang dihasilkan oleh fikiran itu sendiri (Ali Mudhofir, 1996:24).
Aliran
filsafat Empirisme berpendapat bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi
sumber pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun yang lahiriah. Akal bukan
menjadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah
bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah
induksi (Surajiyo, 2010:33).
Namun pada
abad ke XVIII di Jerman berkembang filsafat yang disebut sebagai Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di
Inggris dikenal dengan sebutan Enlightenment, yaitu suatu zaman
baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan
antara rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana manusia lahir
dalam keadaan belum dewasa dalam pemikiran filsafatnya.
Setelah Immanuel Kant mengadakan penyelidikan dan kritik
terhadap peran pengetahuan akal barula manusia terasa bebas dari otoritas yang
datang dari luar manusia demi kemajuan peradaban manusia Di abad ke XVIII dimulai suatu zaman baru yang memang telah berakar pada Renaissance (Masa
yang juga disebut masa keraguan,dirinya dan jiwanya saja diragukan. Yang tidak
di ragukan hanya dirinya yang ragu itu ,keraguan yang dimaksud disini adalah
keraguan metafisik ) dan mewujudkan buah pahit dari rasionalisme dan empirisme.
Masa ini disebut dengan masa pencerahan atau Aufklarung yang menurut Immanuel
Kant,di zaman ini manusia terlepas dari keadaan tidak balik yang disebabkan
oleh kesalahan manusia itu sendir yang tidak memanfaatkan akalnya.
Voltaire menyebut zaman pencerahan sebagai “zaman akal” dimana manusia merasa bebas,zaman
perwalian pemikiran manusia dianggap sudah berakhir,mereka merdeka dari segala
kuasa dari luar dirinya. Para tokoh era Aufklarung ini juga
merancang program-program khusus diantaranya adalah berjuang menentang
dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan
metode-metode rasional.
Zaman Renaissance adalah zaman yang didukung oleh cita-cita untuk melahirkan kembali
manusia yang bebas, yang telah dibelenggu oleh zaman abad tengah yang dikuasai
oleh Gereja atau agama. Manusia bebas ala Renaissance adalah manusia yang tidak mau lagi terikat oleh
orotitas yang manalun (tradisi, sistem gereja, dan lain sebagainya), kecuali
otoritas yang ada pada masing-masing diri pribadi. Manusia bebas ala Renaissance itu kemudian
“didewasakan” oleh zaman Aufklarung,
yang ternyata telah melahirkan sikap mental menusia yang percaya akan kemampuan
diri sendiri atas dasar rasionalitas, dan sangat optimis untuk dapat menguasai
masa depannya, sehingga manusia (Barat) menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya
dorong yang mempengaruhi perkembangan ilmu dan teknologi yaitu pandangan untuk
menguasai alam.
- Ilmu dapat bersifat bebas nilai dan juga bersifat terikat nilai
Ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman
secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin
dimengerti manusia. Adanya system dalam penelitian, bersifat universalitas,
objektivitas, ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti
ilmiah yang bersangkutan karena ilmu harus dapat dikomunikasikan, bersifat
progresivitas, kritis, sebagai perwujudan kebertautan antara teori dengan
praktis. Salah satu ciri dari ilmu adalah objektivitas (The Liang Gie, 1987)
a.
Yang
dimaksud dari Ilmu dapat bersifat bebas nilai adalah Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaiatan sama
sekali dengan nilai. Menurut pendapat Josep
Situmorang menyatakan tiga factor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai,
yaitu : (1). Ilmu harus bebas dari pengandaian nilai-nilai, (2). Diperlukan
adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin, (3). Penelitian
ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering di tuding dan menghambat
kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universa (dalam Ghozali, Bachri, dkk. 2005, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. Hlm 121). Adapun ciri-ciri bahwa
ilmu itu bebas nilai adalah: Bebas dari pengaruh eksternal. Contoh: faktor
politis, geografis, ideologis, agama, budaya. Sedangkan yang dimaksud dari Ilmu dapat bersifat bebas
nilai adalah ilmu yang tidak bebas nilai (valuebond) memandang bahwa ilmu itu
selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan
aspek nilai. Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari
nilai-nilai, lepas dari kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial,
religius, ekologis dsb. Salah satu filosof yang memegangi teori valuebond
adalah Jurgen habermas. Dia berpendapat bahwa ilmu bahkan ilmu alam sekalipun
tidaklah mungkin bebas nilai karena pengembangan setiap ilmu selalu ada
kepentingan-kepentingan. Yang membedakan tiga macam ilmu dengan kepnentingan
masing-masing. Adapun pengetahuan yang pertama berupa ilmu-ilmu alam yang
bekerja secara empiris-analitis. Ilmu-ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam
secar empiris dan meyajikan hasil penyelidikan itu untuk
kepentingan-kepentingan manusia. Jelas sekali dalam pandangan habermas bahwa
ilmu sendiri dikonstruksi untuk keoentingan- kepentingan tertentu, yakni nilai
rasional antara manusia dan alam, manusia dn manusia, dan nilai penghormatan
terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu
sendiri tidak mungkin bekerja lepas dari nilai.
b.
Secara
umum Ilmu bersifat bebas nilai karena dilihat dari dua aspek. Pertama yaitu
etika teologis dan yang kedua yaitu ontologis. Maka ilmu dalam penempatan
teoritis bebas nilai. Kegiatan ilmiah dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa
memandang agama, etnis, ideologi, dan bangsa. Kecuali nilai yang bisa mengikat,
adalah kebenaran atau hikmah. kebenaran ilmu dalam penempatan yang praktis
adalah ilmu harus tunduk kepada nilai-nilai yang bersifat menyeluruh atau
universal yaitu mengabdi untuk kebenaran sehingga tidak mungkin ilmu itu tidak
bebas nilai.
- Jika usulan (proposal) penelitian saya sebagaiman pada ilustrasi soal nomor tiga (3) tersebut maka susunan isi usulan penelitian ini tergolong bersifat Ontologi yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah dan tujuan penelitian. Karena ketiga hal tersebut merupakan objek telaah ilmu dan yang ingin di ketahui dalam penelitian sedangkan hakikat dari ontologi adalah objek telaah ilmu dan hal-hal yang ingin dicapai serta membahas hakikat yang ada. Kemudian usulan yang tergolong bersifat Epistemologi adalah model penelitian dan metode penelitian. Dua isi usulan penelitian tersebut merupakan suatu cara bagai mana memperoleh ilmu pengrtahuan atau kenyataan ilmiah. Hakikat dari epistemologi ialah metode ilmiah, cara memperoleh ilmu dan ukuran kebenaran atau kenyataan ilmiah. Sedangkan usulan yang bersifat Aksiologi yaitu manfaat penelitian, kajian pustaka, konsep dan landasan teori. Dari empat isi usulan tersebut membahas manfaat dan penerapan ilmu pengetahuan secara praktis bagi kehidupan manusia. Hakikat dari aksialogi ialah manfaat atau nilai guna ilmu bagi manusia, membahas nilai (value) sebagai sesuatu yang imperatif dalam penerapan ilmu secara praktis.
- Berikut adalah sebuah gambaran atau contoh mengenai seorang peneliti yang bermoral rendah dapat memilih ontologi penelitiannya atau lebih tegasnya adalah objek formal penelitiannya adalah atas dasar motif atau keinginan untuk “menjatuhkan” badan/lembaga/pihak yang dijadikan objek materialnya.
Pada dasarnya seorang Ilmuwan itu harus mempunyai
landasan moral yang kuat; selain berotak “besar”, dia harus berjiwa ‘besar’ dan
bermoral “tinggi”, karena
perlu diingat bahwa Ilmu tanpa agama adalah buta, sebaliknya agama tanpa ilmu adalah lumpuh
(Suriasumantri, 2000: 270 – 271).
Namun ketikan
seorang ilmuan itu ingin “menjatuhkan” badan/lembaga/pihak yang dijadikan objek
materialnya hal tersebut bisa saja terjadi dalam dunia pariwisata misalnya
adalah ketika ingin menjatuhkan lembaga atau sebuah destinasi wisata yang
sangat ramai wisatawan serta kemajuannya bagus namun, seorang ilmuan ingin
menghancurkannya dengan sengaja membuat temuan yang mungkin saja bisa
direkayasa sehingga akhirnya hasil penemuannya adalah jika wisatawan
berkeunjung ke tempat tersebut maka akan celaka dan seterusnya sebab tempat
tersebut tidak aman serta tidak memenuhi criteria sebgai sebuah destinasi
pariwisata yang bagus atau dengan kata lain tidak memenuhi standard an
sebagainya.
Adapun jika
mengacu pada filsafat positivistime
maka seorang ilmuan itu harus berupaya untuk menemukan dan membangun
pengetahuan yang benar, dengan cara memurnikan ilmu pengetahuan, yang dilakukan
melalui proses kontemplasi bebas-kepentingan (sikap teoritis murni). Dengan
demikian apa yang saat ini dikenal dengan istilah ontologi, adalah bentuk
pemahaman atas kenyataan yang menghendaki pengetahuan murni yang
bebas-kepentingan.
Sebab
positivisme berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual dan positif.
Segala uraian dan persoalan yang diluar apa yang ada sebagai fakta atau
kenyataan dikesampingkan. Oleh karena, itu metafisika ditolak. Apa yang kita
ketahui secara positif adalah segala yang tampak, segala gejala. Arti segala
ilmu pengetahuan adalah mengetahui untuk dapat melihat ke masa depan. Jadi kita
hanya dapat menyatakan atau mengkonstatir fakta-faktanya, dan menyelediki
hubungan satu dengan yang lainnnya. Oleh sebab itu jika ada ilmuan yang
melenceng dari ketentuan yang sudah ada maka ilmuan tersebut adalah ilmuan yang
tidak bermoral (Surajiyo, 2010:34).
Referensi;
Akhmad,
Asmoro, 2003. Filsafat Umum (Cetakan
ke- V) Jakarta : Raja Grafindo Persada
Ali
Mudhofir, 1996. ‘Pengantar Filsafat’ dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Liberty bekerja sama dengan YP Fak. Filsafat UGM
Amsal Bakhtiar, 2005.. Filsafat
ilmu. Jakarta : Raja Grafindo
Persada
Ghozali,
Bachri, dkk 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
S.Praja.Juhaya,
2005. Aliran-aliran filsafat dan etika.(Cetakan ke II). Jakarta: Prenada
Media
Surajiyo,
2010. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia . Jakarta: Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar