PARIWISATA
BUDAYA
MENUJU
PARIWISATA BERKELANJUTAN
DI
LOMBOK
By: KANOM, S.Pd.
I.
Latar
Belakang
Lombok sebagai suatu Destinasi Wisata (daerah tujuan
wisata) utama nasional, baik
wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnu) telah sangat
dikenal sejak lama. Kemajuan sektor pariwisata NTB melampaui proyeksi UNDP
dengan porsentase kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 281% dan kunjungan
wisatawan nusantara sebesar 86%. pada tahun 1991. (Forum Komunikasi Pariwisata,
1993). Sejak tahun 1990an sektor parisiwata NTB, khususnya di pulau Lombok
secara signifikan terus meningkat hingga pada tahun 1997 ketika Indonesia dan
Asia pada umumnya dilanda krisis moneter. Tingkat kunjungan wisatawan asing,
khususnya dari Negara-negara Asia menurun drastis. Keadaan ini tidak
berlangsung lama, yakni pada tahun 1999 sektor pariwasata sudah mulai
menunjukkan kegairahannya hingga tahun 2000 ketika bom mengguncang Pulau Bali
sebagai barometer
pariwisata nasional.
Pulau Lombok
memiliki luas sekitar 5.435 km²
merupakan salah satu pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang
terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelat barat dan Selat Alas di
sebelah timur dari Sumbawa. Pulau Lombok adalah salah satu bagian dari Nusa
Tenggara Barat dengan Ibu Kota Mataram yang terletak di Pulau ini. Lombok
termasuk provinsi Nusa Tenggara Barat dan pulau ini sendiri dibagi menjadi 4 kabupaten dan 1 kotamadya diantaranya adalah (1). Kotamadya
Mataram, (2). Kabupaten Lombok Barat, (3). Kabupaten Lombok Tengah, (4).
Kabupaten Lombok Timur, dan (5). Kabupaten Lombok Utara.
Karena pulau Lombok merupakan pulau yang memiliki
banyak daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan baik itu
wisatawan lokal maupun asing. Namun karena kurangnya promosi membuat daerah
yang ada di pulau Lombok jarang dikenal oleh para wisatawan. Pulau Lombok
dikenal sebagai daerah yang memiliki keindahan pantainya dan pulau kecilnya
(Gili), keberadaan daerah wisata ini memberikan pengaruh atau dampak bagi
masyarakat baik itu dampak positif maupun dampak negatifnya.
Dengan mengacu pada
perkembangan pariwisata di Propinsi Nusa Tenggara Barat dimulai sejak tahun
1967 hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur KDH
Tingkat I Nusa Tenggara Barat tanggal 28 Mei 1967 No. 256/Sek. 1/3/1967, tentang
pembetukan Badan Pembimbing Kepariwisataan Daerah untuk merencanakan
pengembangan industri pariwisata NTB yang dipusatkan di Lombok Barat.
Namun secara yuridis penetapan kawasan industri pariwisata
di propinsi Nusa Tenggara Barat dimulai sejak tahun 1989 hal tersebut sesuai
dengan SK Gubernur NTB No. 2 tahun 1989 tentang penetapan 15 kawasan pariwisata
di NTB yaitu; 9 yang terdapat di pulau Lombok diantaranya Senggigi, Gili Gede,
Suranadi, Kuta, Selung Blanak, Sade (Rambitan), Gili Indah, Gunung Rinjani, dan
Gili Sulat. Sedangkan di pulau Sumbawa terdapat 6 kawasan industry pariwisata
yaitu Moyo, Pantai Maluk, Pantai Hu’u, Gunung Tambora, Bima dan sape (Dwi
Sudarsono, dkk. 1999: 4).
Selain wisata alamnya seperti; laut, pantai maupun
Gunung, Lombok juga memiliki wisata budaya. Atraksi wisat budaya banyak kita
jumpai di pulau Lombok seperti tari Gendang Beleq, Peresean, upacara bau nyale
(Festival Bau Nyalae) di pantai Seger, Kuta, Pujut Lombok Tengah. Selain itu
juga terdapat beberapa peninggalan sejarah seperti; Taman Narmada, Pura
Lingsar, Taman Mayura dan lain sebagainya. Seiring dengan hadirnya pariwisata
di Lombok, Nusa Tenggara Barat berdampak pula pada adat-istiadat masyarakat
setempat termasuk social budayanya.
Terkait dengan perkembangan pariwisata di Lombok
dimana Lombok merupakan sebuah pulau kecil maka pengembangan pariwisatanyapun
harus dengan konsep yang mengarah pada pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Adapun dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan
itu sangat erat kaitanya dengan bagaimana manajemen destinasi pariwisata itu
sendiri yang dalam hal ini adalah manajemen destinasi wisata yang ada di pulau
Lombok menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan. Terkait dengan hal tersebut
salah satu aspek yang perlu ditata adalah pariwisata budaya yang ada di pulau
Lombok karena daya tarik ini sangat potensi dalam rangka pembangunan pariwisata
berkelanjutan di Lombok sebab selain Lombok memiliki potensi budaya yang unik
juga manajemennya harus sesuai dengan konsep-konsep pariwisata berkelanjutan.
Salah satu bentuk manajemen destinasi pariwisata
pulau menuju pembanguanan pariwisat berkelanjutan di Lombok adalah dalam Pariwisata
budaya sebab hal tersebut tersebut merupakan salah satu atraksi wisata penting
di pulau Lombok baik itu dengan konsep penggunaan air yang bagus seperti di
salah satu destinasi budaya di Lombok yaitu di Pura Lingsar maupun di Taman
Narmada.
Dengan demikian pengelolaan sumber daya yang ada guna
mendukung pembagunan pariwisata berkelanjutan itu harus memperhatikan beberapa
aspek diantaranya adalah aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya. Oleh
karenanya salah satu bentuk manajemen destinasi wisata pulau menuju
pembanguanan pariwisata berkelanjutan di Lombok adalah dalam bentuk pariwisata
budaya.
II.
Tujuan
Berikut adalah tujuan dari penulisan paper ini adalah
betujuan untuk mengetahui bagaimana manajemen destinasi pariwisata pulau menuju
pembangunan pariwisata berkelanjutan di Lombok yang dalam hal ini adalah
pariwisata budaya menuju pariwisata berkelanjutan serta kaitan dengan kehidupan
sosial budaya masyarakat sekitarnya
terutama dalam hal kebudayaan yang ada.
III.
Manfaat
Dengan adanya paper ini diharapkan sebagai bahan
masukan bagi pemerintah setempat, tokoh
masyarakat terutama para sesepuh adat sasak dan generasi muda untuk lebih
memperhatikan kegiatan pariwisata yang ada di Lombok Nusa Tenggara Barat pada
khususnya dalam menjaga dan melestarikan
budaya yang ada, mengingat perkembangan
pariwisata di tempat ini sangat pesat sehingga mampu diharapkan mampu meminimalisir
dampak negatifnya serta meningkatkan dampak positifnya sebagaimana diamantkan
dalam undang-undang kepariwisataan No.10 Tahun 2009 pasal 4 tentang tujuan
kepariwisataan.
Selain itu juga guna meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam turut serta mendukung pembangunan pariwisata menuju pariwisata
yang berkelanjutan dengan tetap menjaga budaya warisan nenek moyang terdahulu sehingga
yang dalam hal ini termasuk mendukung dalam pengelolaa (manajemen) sehingga
tetap terjaga keberlanjutannya.
IV.
Pembahasan
Kepariwisataan dapat dipandang sebagai sesuatu yang
abstrak, misalanya saja suatu gejala yang melukiskan kepergian orang-orang
dalam negaranya sendiri (pariwisata domestic) atau penyebrangan orang-orang
pada tapal batas suatu Negara/ pariwisata internasional (Salah Wahab, 1976:3).
Proses bepergian ini dapat menyebabkan terjadinya interaksi, dan
hubungan-hubungan, saling pengertian insani, perasaan-perasaan, persepsi,
motivasi, tekanan-tekanan, kepuasan, kenikmatan, dan lain sebagainya diantara
sesama pribadi atau antar kelompok.
Secara khusus kepariwisataan dapat dipergunakan
sebagai suatu alat untuk memperkecil kesenjangan, saling pengertian diantara
Negara-negara yang sudah berkembang, yang biasanya adalah Negara-negara sumber
wisatawan atau Negara pengirim wisatawan. Pada dasarnya bagian-bagian dari
gejala pariwisata terdiri dari tiga unsur yaitu; manusia (unsure insani sebagai
pelaku kegiatan pariwisata), tempat (unsur fisik yang sebenarnya tercakup oleh
kegiatan itu sendiri) dan waktu (unsur tempo yang dihabiakan dalam perjalan ini
sendiri dan selam berdiam di tempat tujuan). Unsur waktu dapat bervariasi
sesuai dengan jarak diantara titik pemberangkatan dengan dengan Negara atau
daerah tujuan wisata, alat transportasi yang dipergunakan, lamanya mengvinap di
tempat tujuan tersebut dan sebagainya.
Kegiatan pariwisata memberika manfaat yang cukup
besar dalam perekonomian suatu Negara, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kegiatan di sector-sektor lain secara tidak langsung.
Adapun manfaat kegiatan kepariwisataan bagi suatu
Negara diantaranya; (1) Pariwisata adalah factor penting untuk menggalan
persatuan bangsa yang rakyatnya memiliki daerah yang berbeda, dialek,
adat-istiadat, dan cita rasa yang beraneka ragam, (2) Pariwisata menjadi factor
penting dalam mengembangkan ekonomi, karena kegiatnnya mendorong perkembangan
sector ekonomi nasional lainnya.
Selain hal tersebut di atas secara nasional tujuan
kepariwisataan adalah sebagai berikut; (a). meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (b).
meningkatkan kesejahteraan rakyat, (c). menghapus kemiskinan, (d). mengatasi
pengangguran, (e). melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, (f).
memajukan kebudayaan, (g). mengangkat citra bangsa, (h). memupuk rasa cinta
tanah air, (i). memperkukuh jadi diri dan kesatuan bangsa, dan (j). mempererat
persahabatan antar bangsa (Undang-undang Kepariwisataan No.10 tahun 2009).
Selain
itu juga dalam dunia kepariwisataan daya
tarik wisata (atraksi wisata) merupakan suatu hala yang mutlak diperlukan guna
menghidupkan dunia kepariwisataan termasuk di dalamnya adalah kebudayaan yang
unik seperti halnya yang ada di Lombok Nusa Tenggara Barat.
Terkait
dengan hal tersebut di atas, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang
memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan
alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan
kunjungan wisatawan. Keadaan alam, flora dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni dan budaya
yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan
untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung
dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Menurut
Yoeti (2006:55-56) daya tarik wisata dibagi menjadi empat (4) bagian yaitu;
1.
Daya tarik wisata alam, yang meliputi
pemandangan alam, laut, pantai dan pemandangan
alam lainnya.
2.
Daya tarik wisata dalam bentuk bangunan,
yang meliputi arsitektur bersejarah dan modern, monumen, peninggalan arkeologi,
lapangan golf, toko dan tempat-tempat perbelanjaan lainnya.
3.
Daya tarik wisata budaya, yang meliputi
sejarah, foklor, agama, seni, teater, hiburan, dan museum.
4.
Daya tarik wisata sosial, yang meliputi
cara hidup masyarakat setempat, bahasa, kegiatan sosial masyarakat, fasilitas
dan pelayanan masyarakat.
Selain
empat komponen tersebut, daya tarik wisata juga harus memiliki komponen
aksesibilitas dan amenitas (Damanik dan Weber, 2006:12). Aksesibilitas mencakup
sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan daya tarik wisata yang
satu dengan daya tarik wisata yang lain di daerah tujuan wisata mulai dari
transportasi darat, laut dan udara. Aksesibilitas juga mencakup peraturan atau
regulasi pemerintah yang mengatur tentang rute dan tarif angkutan. Amenitas
adalah infrastruktur yang menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan seperti fasilitas
akomodasi, restoran, bank, penukaran uang, telekomunikasi, usaha penyewaan
(rental), olahraga, informasi, dan lain sebagainya.
Menurut Damanik dan Weber (2006:13) daya tarik
wisata yang baik sangat terkait dengan empat hal, yakni memiliki keunikan, orijinalitas,
otentisitas, dan keragaman. Keunikan diartikan sebagai kombinasi kelangkaan dan
kekhasan yang melekat pada suatu daya tarik wisata. Orijinalitas mencerminkan
keaslian atau kemurnian, yakni seberapa jauh suatu produk tidak terkontaminasi
atau tidak mengadopsi nilai yang berbeda dengan nilai aslinya. Otentisitas
mengacu pada keaslian. Bedanya dengan orijinalitas, otentisitas lebih sering
dikaitkan dengan tingkat keantikan atau eksotisme budaya sebagai daya tarik
wisata. Otentisitas merupakan kategori nilai yang memadukan sifat alamiah,
eksotis, dan bersahaja.
Terkait dengan daya tarik wisata (atraksi wisata),
di Lombok Nusa Tenggara Barat memiliki beragam daya tarik wisata termasuk di
dalamnya adalah wisata Budaya. Daya tarik wisata budaya atau pariwisata budaya di
Lombok merupakan salah satu bentuk pariwisata yang sangat potensi untuk
pemabagunan pariwisata berkelanjutan. Dan berikut adalah beberapa attraksi
wisata yang terkait dengan pariwisata budaya menuju pariwisata berkelanjutan
diantaranya;
a. Pura
Lingsar
Sulit dipercaya, bahwa didunia ini ada 2 umat yang memiliki
latar belakang etnis, kultur dan keyakinan agama, dapat hidup berdampingan di
dalam melaksanakan ritusnya masing-masing dan perbedaan bagi mereka adalah
sesuatu yang wajar dan logis dan dirasakan sebagai sebuah hikmah dari Tuhan
Yang Maha Esa karena perbedaan akan membuat mereka menjadi saling mengenal dan
kemudian menghormati keyakinan satu sama lain. Disini ada sebuah sanggar
kekeramatan yang diusung oleh kedua umat tertentu sesuai persepsi dan versi
keyakinan agama masing-masing. Dalam hal tertentu, mereka dapat mengerjakannya
bersama-sama dan dilain hal hanya boleh dikerjakan umat yang bersangkutan.
Tradisi
dan kepercayaan untuk mensyukuri sebuah mata air yang ada di sanggar itu atau
dikenal dengan istilah Kemaliq, dipercaya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa
menjadi sebuah sumber kehidupan, memantik semangat untuk menyusun sebuah
kepranataan, rasa tanggung jawab dan pengorbanan tanpa pamrih sebagai ungkapan
rasa syukur dalam bentuk sebuah upacara. Dan amatlah lazim bila untuk
memantapkan rasa kesungguhan umat, cita-cita berkorban tersebut diusung melalui
dukungan susunan myitologi atau legenda.
Dalam
melestarikan sebuah mata air yang diakui dan diyakini oleh kedua umat sebagai
sebuah kawasan sakral dan magis, sesuai dengan tradisi kultur dan keyakinan
masing-masing umat. Maka ada sebuah upacara “Perang Topat” yang disung oleh
umat Sasak yang kegiatannya berlangsung dalam waktu dan tempat bersamaan dengan
Upacara Odalan atau Pujawali yang dilakukan oleh Umat Hindu dan kedua umat
dapat dengan hidmat melaksanakan upacaranya masing-masing.
Nama
Pura/Kemaliq Lingsar ini mulai muncul ketika orang Bali pertama kali datang ke
Lombok. Rombongan orang Bali tersebut berasal dari Karangasem yang jumlahnya ±
80 orang. Kedatangan mereka mendarat di pantai Barat dekat Gunung
Pengsong, Lombok Barat. Dari Gunung Pengsong rombongan Raja tersebut
melanjutkan perjalanan ke Perampuan, lalu ke Pagutan kemudian ke Pagesangan.
Rombongan ini dipimpin oleh tiga orang, yaitu :
Dari
Pagesangan, rombongan berjalan kaki tetapi belum menemukan tanda. Sesampai
rombongan di daerah Punikan, seluruh anggota rombongan merasa haus dan lapar
sehingga beristirahat untuk makan minum. Setelah selesai makan tiba-tiba
ada suara seperti letusan dan bergemuruh. Kemudian mereka mencari asal suara
tersebut yang ternyata adalah sebuah mata air yang baru meletus, lalu ada wahyu
mengatakan kalau sudah menguasai Lombok maka buatlah Pura disini.
Kemudian luapan air itu diberi nama Ai’ Mual yang artinya air yang
mengalir. Selanjutnya nama Ai” Mual berubah menjadi Lingsar.
Lingsar berasal dari kata Ling, yang artinya wahyu atau sabda dan Sar,yang
artinya syah atau jelas. Jadi Lingsar artinya wahyu yang jelas. Sedangkan
sumber mata airnya terletak tidak jauh dari daerah tersebut, dan diberi nama Ai’
Mual ( Air Timbul) yang letaknya di sebelah timur Lingsar.
Pura /
Kemaliq Lingsar diduga pembangunannya dilakukan pada tahun 1759, yaitu tahun
berakhirnya kekuasaan Mataram yang pada waktu itu berpusat di Cakranegara. Pembangunan
Pura Lingsar oleh Raja Ketut Karangasem Singosari dimaksudkan untuk
menyatukan secara batiniah Masyarakat Sasak dengan Masyarakat Bali. Pura
Lingsar dibangun berdampingan dengan Kemaliq Lingsar yang merupakan tempat
pemujaan Masyarakat Sasak. Jauh sebelumnya di lokasi ini Masyarakat Sasak telah
melakukan pemujaan terhadap sumber mata air yang mereka sebut Kemaliq. Kemaliq
berasal dari kata maliq dalam bahasa Sasak yang artinya keramat atau
suci. Sumber mata air yang ada di Kemaliq ini oleh Masyarakat Sasak
dikeramatkan atau disucikan karena tempat tersebut mereka yakini sebagai tempat
hilangnya (moksa) seorang penyiar Agama Islam Wetu Telu yang bernama
Raden Mas Sumilir dari Kerajaan Medayin.
Keberadaan
ajaran Islam Wetu Telu di daerah Lingsar ini berasal dari Jawa melalui Bayan,
atas instruksi Sunan Pengging dari Jawa Tengah pada permulaan abad XVI. Islam
Waktu Telu ini adalah sinkritisme Hindu – Islam. Sumber ajarannya berasal dari
ajaran Sunan Kalijaga. Sinkritisme ini dalam kepercayaan mistik merupakan
kombinasi dari Hindu (Adwaita) dengan Islam (Sufisme), dengan ajaran
pantheisme. Sehingga animisme masih berlaku terus dan mistik dari segi agama
bisa diterima secara sukarela oleh semua penduduk Lombok yang masih paham
animisme. Ajaran inilah yang kemudian dinamakan Wetu Telu. Menurut
ajaran Hindu, orang yang beragama lain tidak boleh dipaksa menerima ajaran
agama Hindu. Tetapi yang dipaksa oleh raja Bali adalah ajaran bahwa semua
orang harus berterima kasih kepada Tuhan dengan agama, kepercayaan dan caranya
masing-masing. Dengan adanya kepercayaan ini maka pembangunan yang dilakukan
oleh Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem pada tahun 1759 di Lingsar
diperuntukan bagi dua jenis golongan masyarakat, yaitu :
Bagian
bangunan bagi masyarakat Hindu dinamakan Gaduh, yang artinya Pura. Bagian
bangunan bagi masyarakat penganut Wetu Telu dinamakan Kemaliq, yang artinya
keramat. Gaduh dan Kemaliq ini boleh dipakai kapan saja menurut keperluan
agamanya masing-masing, tetapi hanya sekali setahun harus diadakan upacara
bersama, yaitu Perang Topat.
Perang
Topat adalah suatu kegiatan upacara dalam bentuk perang-perangan dan topat atau
ketupat sebagai senjata yang dipakai dengan cara saling lempar dengan sesama
teman. Perang Topat diadakan sebelum menanam padi tetapi setelah datangnya
musim hujan. Maksud dari acara ini adalah untuk mengembalikan hasil tanah
(berupa topat) kepada asal (Lingsar). Hasilnya tersebut akan menjadi rabuk
(bubus lowong) untuk bibit padi yang akan ditanam. Yang utama menghadiri
upacara tersebut adalah anggota Subak Kecamatan Lingsar dan Narmada. Perang
Topat merupakan ungkapan sukacita atau terima kasih kepada Sang Pencipta. Tiap
tahun sebelum Perang Topat, ada beberapa orang dari Subak ini yang naik ke Gunung
Rinjani dengan membawa benda-benda yang terbuat dari emas berbentuk udang,
gurami, nyale, dan kura-kura. Benda-benda ini nantinya akan dibuang ke Danau
Segara Anak dengan maksud untuk memohon kemakmuran.
Kompleks
Pura dan Kemaliq Lingsar merupakan kompleks taman yang besar dengan bangunan
pura di dalamnya. Bangunan Pura sendiri tidak begitu besar tetapi mempunyai
beberapa keistimewaan. Pura ini terdiri atas tiga kompleks, yaitu;
1. Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh),
2. Kompleks Kemaliq, dan
3. Kompleks Pesiraman
Kompleks
Pura Lingsar (Pura Gaduh) terletak di bagian atas sebelah utara menghadap ke
barat dan merupakan tempat ibadah umat Hindu. Sedangkan kompleks Kemaliq dan
kompleks Pesiraman terletak di bagian bawah di sebelah selatan, juga menghadap
ke barat tetapi letaknya sedikit ke utara mengarah kiblat.
Bangunan
Pura Lingsar ( Pura Gaduh) dan Kemaliq dihubungkan dengan dua buah Kori
Agung. Di halaman luar ( Bencingah) Pura Lingsar dan Kemaliq terdapat tiga buah
bangunan Bale. Dua buah Bale Jajar di halaman barat pura dan sebuah Bale
Bundar. Kedua bangunan Bale Jajar ini merupakan tempat kegiatan kesenian
dan beristirahat bagi umat yang bersembahyang, berbentuk segi empat panjang,
bertiang enam (Sekenem). Atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari
seng, lantai dari batu bata dengan ketinggian 0,66 m dari permukaan tanah,
panjang 10,71 m dan lebar 5,25 m.
Bangunan
Bale Bundar terletak di halaman Jaba Pisan (halaman luar Kemaliq) yang
merupakan tempat kegiatan rapat dan beristirahat bagi umat yang bersembahyang.
Bentuknya segi empat panjang, dan bertiang enam (Sekenem). Atapnya
berbentuk limasan dan terbuat dari seng, lantainya dari batu bata dengan tinggi
lantai dari permukaan tanah 0,60 m, panjang 6 m, dan lebar 6 m.
Di samping
bangunan-bangunan tersebut diatas, di sebelah selatan Pura/Kemaliq terdapat
pancuran Siwak (sembilan buah pancuran), yaitu bangunan yang merupakan tempat
mandi kaum laki-laki dengan panjang 21,50 m dan lebar 3,50 m di sebelah barat,
dan tempat mandi kaum perempuan yang letaknya di sebelah barat dengan
panjang 18,50 m dan lebar 4,20 m. Kemudian pada pancuran yang berada disebelah
barat pemandian kaum wanita ada pancuran yang dinamakan Pancuran Loji,
pancurannya sebanyak 2 buah. Pada bagian paling selatan kompleks taman terdapat
Kolam Ageng berukuran keliling 6.230 m2. Sedangkan perigi kolam terbuat dari
pasangan batu kali yang direkat dengan portland semen (PC).
Di sebelah
utara halaman luar (bencingah) terdapat Kolam Kembar. Halaman tempat Kolam
Kembar ini dikelilingi oleh tembok yang bahannya dari batako. Pada sisi sebelah
selatan dan sisi sebelah utara terdapat candi bentar dari batu bata. Candi
Bentar yang ada di sebelah selatan merupakan pintu masuk ke halaman Bencingah,
sedangkan Candi Bentar yang ada di sebelah utara merupakan pintu masuk ke
halaman parkir (Jabaan).
Di halaman
parkir ini terdapat bangunan gedung baru yang dimanfaatkan sebagai tempat
pagelaran. Di sebelah utara, paling ujung utara halaman Jabaan terdapat dua
buah gapura yang merupakan bangunan lama dengan bentuk seperti pilar
tinggi dari batu bata.
Berdasarkan
fungsinya, bangunan-bangunan yang terdapat di Pura/Taman lingsar ini dapat kita
kelompokan menjadi 3 kelompok bangunan, yaitu :
ü Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh)
Pura ini
dikelilingi oleh tembok dari batu bata dengan tinggi 3,51 m, tebal 85 cm, dan
diberi pintu utama di sebelah barat bagian tengah. Tembok batu bata ini
disebut pula Kori Agung. Bagian dalam halaman pura (jeroan pura)terdapat
bangunan-bangunan suci, diantaranya adalah;
Bale
Banten. Fungsinya
sebagai tempat sarana upacara, terletak di sebelah barat, bentuknya
empat persegi panjang, bertiang enam (Sekenem), atapnya berbentuk
limasan terbuat dari genteng, berlantai batu bata dengan tinggi 60 cm dari
tanah.
Penyungsungan
Betara Gunung Agung. Fungsinya
sebagai pemujaan Betara Gunung Agung, terbuat dari batu bata dan batu padas
tanpa atap. Badan (Pelinggih) dari bangunan ini penuh dengan hiasan
bunga padma dan relief punakawan yang ada dalam cerita pewayangan.
Penyungsungan
Betara Alit Sakti di Bukit.
Bangunan ini untuk sebelah barat dipuja sebagai tempat Betari Ibunya Betara
Alit Sakti (Anak Agung Ayu Rai/Berebah) yang mengarah ke bukit, sedangkan
sebelah timurnya dipuja sebagai tempat Batara Alit Sakti (Betara di Bukit).
Bentuknya empat persegi panjang bertingkat dua dengan enam buah tiang (Sekenem),
atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari ijuk, dan lantainya terbuat dari
batu bata.
Penyungsungan
Betara Ngerurah. Fungsinya
adalah tempat pemujaan/bersemayamnya Ratu Ngurah. Terbuat dari batu bata dan
tanpa atap.
Penyungsungan
Betara Gunung Rinjani, Fungsinya
sebagai tempat pemujaan Betara Gunung Rinjani. Bentuknya menyerupai empat
persegi panjang bertingkat, dasarnya dari batu bata dengan tinggi 6 meter dari
tanah dan berhiaskan bunga padma dan relief wayang, beratap ijuk.
Bale
Banten. Fungsinya
sebagai tempat sarana upacara. Terletak di sebelah timur, bentuknya
empat persegi panjang bertiang enam (Sekenem), atapnya berbentuk limasan dari
genteng, berlantai batu bata dengan tinggi 60 cm dari tanah.
Bale
Pararianan. Fungsinya
sebagai tempat peristirahatan sebelum/sesudah sembahyang. Terletak di sebelah
barat dan timur, berfungsi sebagai tempat peristirahatan dan tempat untuk
mempersiapkan sesajen yang akan dipersembahkan. Bentuknya empat persegi panjang,
bertiang enam (Sekenem), atapnya berbentuk limasan dari genteng, dan lantainya
terbuat dari batu bata dengan tinggi 50 cm dari tanah.
Bale
Pawedaan, berfungsi
sebagai tempat pendeta memimpin upacara. Bentuknya empat persegi panjang,
bertiang enam (Sekenem) dan ditunjang oleh empat buah pilar dari batu bata yang
diplester semen dan kapur serta dibatasi masing-masing oleh empat buah tiang
kayu. Atapnya terbuat dari genteng, sedangkan atap serambinya dari seng.
Lantainya terbuat dari batu bata.
ü Kompleks Kemaliq
Kompleks
ini dikelilingi oleh tembok dari batu bata yang sekarang keadaannya sudah
dipugar. Tembok aslinya terbuat dari tanah dan sekarang sudah tidak ada lagi.
Di sisi sebelah Barat diberi pintu utama yang disebut Kori Agung (Pemedal). Di
sisi sebelah selatan terdapat dua buah pintu untuk menuju ke Kompleks
Pesiraman. Bangunan-bangunan yang ada dalam Kompleks Kemaliq ini adalah;
Penyungsungan
Betara Gde Lingsar (Betara Lingsir), bentuknya menyerupai segi empat dengan dinding keliling dari
batu bata setinggi 1,50 m. Terdapat sebuah pintu masuk di sebelah selatannya.
Bangunan ini dibuat dengan atap dari seng. Disini tampak banyak batu-batu yang
dibungkus kain putih yang disebut petaulan atau pratina. Konon
orang-orang yang datang bersembahyang/berziarah untuk memohon sesuatu, jika
terkabul mereka akan datang kembali dengan membawa batu yang diletakkan dalam
bangunan ini. Jumlahnya dua buah dan menempel pada tembok keliling di sebelah
timur, bagi umat Hindu. Sedangkan bagi umat Sasak berkeyakinan bahwa Petaulan
adalah sebagai sarana “Tali Penghubung” yang secara hakekat berarti tempat
menghubungi Al-Malik Allah SWT atau tempat bermunajat atau berdoa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Arca
Garuda Wisnu, yang
disebut Batara Wisnu atau Batara Gangga.
Bale
Sekepat, jumlahnya
dua buah dengan masing-masing tiangnya berjumlah empat buah bangunan ini
terletak di sebelah barat dan timur. Bale sekepat yang terletak di timur dengan
atap genteng, berlantai batu bata setinggi 30 cm dari tanah. Bale Sekepat yang
berada barat digunakan sebagai tempat Pawedaan dalam prosesi upacara dan tempat
Pedande memimpin upacara, sedangkan Bale Sekepat yang berada di sebelah timur
digunakan sebagai tempat Banten untuk mempersiapkan sarana upacara lainnya.
Bangunan
Baru, yang
berfungsi sebagai tempat peristirahatan bagi umat (Hindu dan Sasak) yang
bersembahyang.
ü Kompleks Pesiraman
Kompleks
Pesiraman ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu Pesiraman Laki-laki (Permandian
untuk kaum laki-laki) dan Pesiraman Perempuan (Permandian untuk kaum wanita).
Sewaktu Kerajaan Karangasem-Lombok masih berkuasa, raja dan keluarganya mandi
di kompleks pesiraman ini sebelum melakukan persembahyangan.
Kompleks
ini dikelilingi oleh tembok dengan tinggi 2 meter yang terbuat dari batu bata
dan di bagian sebelah baratnya terdapat sebuah pintu masuk.
Di dalam
Kompleks Pesiraman ini terdapat beberapa bangunan, yaitu :
Bangunan Betara Bagus Belian, jumlahnya lima buah di tempat
Pesiraman Laki-laki dan empat buah di tempat Pesiraman Wanita. Kedua kelompok
bangunan ini letaknya agak di bawah, berbentuk empat persegi panjang dengan
dinding dan lantai dari batu bata. Pada bagian selatan bangunan ini terdapat
tangga naik untuk menuju halaman pura.
Pancuran, bangunan pancuran ada 2 buah yaitu disebelah timur dan barat
yang masing-masing bangunan tersebut dilengkapi dengan sembilan buah
pancuran, yang sebelah timur untuk laki-laki dan sebelah barat untuk perempuan.
Kedua pancuran tersebut dimanfaatkan oleh setiap orang yang ingin membersihkan
diri sebelum melakukan persembahyangan.
Pancuran Loji, fungsinya adalah pada tempo dulu
digunakan sebagai tempat pemandian Anak Agung dan istri/permaisuri.
Jadi pura ini merupakan salah satu atraksi
wisata budaya yang sangat bagus serta dan merupakan cerminan dari salah satu
kebudayaan Lombok jua, sebuah peninggalan sejarah purbakala yang harus
dilestarikan.
b. Taman
Narmada
Sebuah tujuan wisata bak surgawi berupa taman tetirah
keluarga kerajaan, sekaligus tempat suci penyelenggaraan aktivitas religi yang
unik dan amat t enteram
dengan panorama Gunung Rinjani yang eksotis yang berada di Taman Narmada,
Lombok Nusa Tenggara Barat.
Kalau Kota
Yogyakarta memiliki Tamansari sebagai tempat wisata yang merupakan taman
kerajaan atau pesanggrahan bagi kerabat Keraton Yogyakarta, di Lombok juga
terdapat sebuah taman serupa yang disebut dengan Taman Narmada. Taman Narmada
ini dahulu kerap dipakai sebagai tempat peristirahatan keluarga raja dan
sebagai tempat suci bagi umat Hindu dalam mengadakan upacara adat Pekelem.
Taman Narmada dibangun tahun 1727
oleh Raja Mataram Lombok, yakni Anak Agung Ngurah Karangasem. Pemilihan nama
Narmada juga tidak lepas dari agama Hindu yang dianut oleh raja dan rakyat pada
masa itu. Narmada diambil dari kata Narmadanadi, nama sebuah anak Sungai Gangga
di India yang dianggap suci oleh umat Hindu.
Penggunaan
air di dalam Taman Narmada ini memberikan kita satu pelajaran penting yaitu
bagaimana seharusnya kita menggunakan air secara baik dan benar, karena sitem
penggunaan air yang ada di taman Narmada ini adalah sistem yang sangat bagus
dimana penggunaan mata air alami yaitu mata air yang selalu mengalir sepanjang
zaman tanpa harus merusak ekosistem yang ada.
Jika dalam
pembangunan kepariwisataan menggunakan sumber daya secara bijak itu berarti
bahwa salah satu indikator pengembangan pariwisata berkelanjutan dapat
terwujud. Sebab, air merupakan salah satu hal yang terpenting dalam pembangunan
kepariwisataan terutama untuk pariwisata berkelanjutan “sustainable tourism
development”.
Salah satu
upaya yang sangat menarik guna menggunakan air secara bijak adalah bahawa
ternyata air itu bisa bikin awet muda selain air itu sebagai salah satu sumber
kehidupan. Di samping itu juga di Taman Narmada ini adalah sebuah bangunan yang
disebut Balai Petirtaan yang sumber airnya berasal dari Gunung Rinjani dan
merupakan pertemuan antara tiga sumber mata air, yaitu Lingsar, Suranadi, dan
Narmada.
Karena
mata airnya berasal dari Gunung Rinjani dan tempat pertemuan tiga sumber mata
air, maka air yang ada di Balai Petirtaan dipercaya dapat menjadikan orang yang
meminum dan membasuh mukanya dengan air di situ akan awet muda.
Sebagai
bangunan tua dan bersejarah, Taman Narmada tidak lepas dari mitos. Mitos yang
berkembang di sana dan dipercaya sebagian orang adalah khasiat awet muda dari
mata air di dalam kompleks taman ini. Taman Narmada memang dipenuhi dengan
kolam, parit, dan pancuran. Air ini mengalir sepanjang hari tanpa kenal henti.
Di beberapa lokasi, air dijatuhkan menjadi pancuran. Pancuran itu sering
dimanfaatkan pengunjung untuk membasuh muka dan cuci tangan.
Air yang
melimpah dan bening ini memang mengagumkan. Tidak heran jika berkembang mitos
bahwa yang mandi atau sekadar membasuh muka dan dari taman ini dipercaya akan
awet muda karena kondisi airnya yang sejuk dan bening belum tercemar polusi.
Boleh jadi
air yang berasal dari Pegunungan Rinjani ini mengandung banyak mineral yang
bermanfaat bagi kesehatan kulit. Mineral-mineral ini akan membantu menunda
penuaan dini dengan memberikan efek pelembapan. Apalagi dengan meminum air yang
kaya mineral, selain merupakan cara yang ampuh menunda proses penuaan,
berkhasiat menjaga kesehatan.
Antara
taman Narmada dan Pura Lingsar mempunyai kemiripan serta kaitan yang erat
terutama dalam hal kebudayaan dan pariwisata Lombok. Dalam hal ini kita
mendapat pelajaran harga tentang bagaimana seharusnya membina kerukunan serta
saling toleransi antar sesama supaya tercipta keharmonisan dalam hidup termasuk
di dalamnya adalah bagaimana seharusnya kita menjaga hubungan baik dengan alam
lingkungan sekitar. Disamping itu juga di Lombok juga terdapat berbagai tradisi,
kebudayaan, adat-istiadat maupun kesenian yang hingga kini masih dilestarikan
seiring dengan berkembangnya pariwisata.
c. Tari
Gendang Beleq
Gendang beleq merupakan salah satu seni musik yang dimainkan
oleh banyak orang atau biasanya berjumlah kurang lebih 20 orang. seni musik ini
sangat terkenal ddan menjadi salah satu jenis musik yang digemari oleh
masyarakat lombok.
Gendang
beleq merupakan warisan nenek moyang orang lombok yaitu suku sasak. Gendang
beleq ini terdiri dari 2 atau lebih gendang beleq dimana gendang beleq ini
mirip-mirip seperti gendang biasa yang ujung kiri dan kanannya tertutup oleh
kulit sapi yang konon katanya sudah tersimpan sampai bertahun-tahun tapi
ukurannya cukup besar.
Dan alat ini dimainkan dengan cara dipukul dengan pemukul
disebelah kanan dan tangan kiri hanya sebagai penyeimbang ketukan saja. suara
yang sama seperti gendang namun lebih besar dari biasanya menjadi posisi
dan bagian utama dalam gendang beleq.
Alat-alat
musik pendukungnya yaitu kelentang, puluhan pasang cemprang/cemper, suling,
gong besar dan gong kecil dan beberapa alat lainnya. Dan ada pula beberapa
persatuan atau grup gendang beleq ini menggunakan penari khusus untuk mengiri
alunan musiknya.
Gendang
beleq ini masih tetap exsis sampai dengan hari ini karena Gendang Beleq ini
hampir selalu ada pada setiap acara prosesi pernikahan adat lombok (merarik)
yaitu pada acara nyongkolan. Nyongkolan ini merupakan acara adat dimana
pengantin laki-laki pergi bertandang ke rumah pengantin wanita dan diiringi
oleh kerabat serta saudara-saudara yang lainnya.
Pada acara
pernikan inilah seni musik gendang belek ini sering diundang, tujuannya yaitu
tadi untuk ikut serta mengiringi kedua mempelai menuju rumah pengantin wanita.
Terkadang juga ada acara-acara khusus yang diadakan oleh pemerintah setempat
untuk tetap melestarikan budaya-budaya lombok seperti Festival Gendang Beleq
Sepulau Lombok. Pada acara ini mereka bisa mengeluarkan skill-skill yang mereka
miliki untuk dipertunjukkan pada semua orang baik itu penonton dan grup-grup
yang lain.
Tari
Gendang Beleq ini merupakan salah satu tarian yang dulunya hanya ditarikan pada
saat upacara tertentu seperti upacara adat dan seterusnya dan tidak dipentaskan
secara umum seperti sekarang ini. Namun seiring perkembangan pariwisata kita
tarian tersebut dapat dijumpai pada hotel-hotel berbintang sebagai salah satu
atraksi wisata serta pada penyambutan tamu-tamu kenegaraan dan lain sebagainya.
Perubahan
ini tentu berdampak positif bagi kelestarian budaya ini, sebab jika hal ini
tidak dilakukan maka seiring perubahan generasi menuju hidup yang lebih modern
maka generasi muda lebih cendrung melupakan budaya asli mereka.
d. Peresean
Presean adalah Budaya Simbol Kejantanan Pemuda Suku Sasak di Pulau
Lombok. Acara ini berupa pertarungan dua lelaki Sasak bersenjatakan tongkat
rotan atau biasa disebut peyalin serta berperisai kulit kerbau tebal dan keras
yang biasa di sebut dengan ende. Petarung biasa di sebut dengan pepadu dan
wasit pinggir disebut pakembar sedi dan wasit tengah disebut pekembar. Presean
ini bermula hanya upacara adat dari luapan emosi para prajurit jaman kerajaan
dulu sehabis mengalahkan lawan di medan perang. Selain sebagai tarian untuk
memohon turunnya hujan karena musim kemarau panjang.
Presean
ini sudah di kenal dengan masyrakat sejak lama, Hingga akhirnya dilestarikan
sampe sekarang ini menjadi hiburan perayaan yang diadakan setiap Bulan agustus.
Presean ini sangat unik ketika di padukan gaya bela diri yang di pragakan oleh
para pepadu.
Hanya
mengunakan sarung tanpa baju dan sebuah rotan di tangan kanan serta sebuah
perisai yang terbuat dari kulit binatang di tangan kiri, dua orang pemuda yang
berada di hadapan ratusan penonoton saling mengadu kejantanannya. Sambil menari-nari
di iringi dengan musik gamelan (musik tradisional Lombok) kedua pepadu saling
menghalau lawan dengan penyalen tanpa rasa cemas atau takut.
Uniknya
Presean ini para peserta tidak pernah disiapkan, para penonton pun bisa ikut
serta mengambil alih menjadi seorang petarung. Aturan mainnya juga tidak mbuat
para petarung bngung, hanya tidak boleh memukul bagian bawah perut. Kalau pepadu (petarung) kena kepala sampai
bocor berarti dianggap kalah. Setelah itu,
pertandingan tidak boleh dilanjutkan lagi jika pepadu (petarung) mengeluarkan
darah dari kepalanya. walaupun pepadu
tidak mau tersebut tidak menyerah.
Presean
ini tidak membawa dendam di antara para pepadu di karenakan para pepadu di
haruskan bersalaman dan pelukan persahabatan. Tanda tiada dendam dan semua
hanyalah permainan.
Seperti
halnya dengan tari Gendang Beleq, Peresean merupakan sebuah tradisi yang hanya
dilakukan dulu waktu sesudah atau sebelum perang melawan musuh guna menguji
ketangkasan kini beralih fungsi sebgai hiburan semata meskipun pada
pelaksanaanya sesuai dengan tradisi dari zaman dulu yaitu harus mampu menguasai
teknik dan mantra-mantra tertentu. Yang membedakannya adalah sekarang dapat
kita jumpai pada perayaan hari-hari besar nasional maupun sebagai salah satu
daya tarik (atraksi wisata) di Lombok.
e. Bau
Nyale
Sebuah
tradisi kuno yang hingga saat ini masih berlangsung di Pantai Seger, Desa Kuta,
Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah yaitu “Bau Nyale” (Bahasa Sasak) yang
artinya adalah menangkap “Nyale” merupakan sebuah tradisi yang dilakukan sekali
dalam setahun oleh masyarakat Sasak yang ada di Pulau Lombok. Tradisi tersebut berlangsung setiap tahun dan merupakan sebuah
ritual adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Sasak khususnya yang berada di
Kuta, Pujut Lombok Tengah.
Seiring
dengan berkembangnya pariwisata di Lombok, tradisi ini disebut dengan istilah
core event Nyale Festival atau Festival Bau Nyale. Sekarang festival ini tidak hanya
melibatkan suku Sasak lokal tapi juga pemerintah setempat dan tentunya
wisatawan dari berbagai negara. Festival ini rutin dirayakan 5 hari
setelah bulan purnama atau hari ke-20 bulan ke-10 dalam kalender tradisional
Sasak.
Festival Bau Nyale berlangsung
dengan menampilkan aneka lomba tradisional seperti bekayaq, cilokaq,
peresean, begambus, berbalas pantun, dan lomba mendayung perahu.
Sebagai event akbar rakyat Lombok, Festival Bau Nyale juga akan menggelar
berbagai pertunjukan kesenian, diantaranya adalah: drama kolosal tentang
legenda Putri Mandalika, wayang kulit, penginang robek, dan teater legenda
Putri Nyale.
Suku Sasak sendiri adalah kelompok
etnis dominan yang mendiami Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bau
dalam bahasa Lombok berarti menangkap dan nyale adalah
sejenis cacing laut yang hanya muncul dipermukaan beberapa kali dalam setahun.
Bau Nyale adalah upacara meriah dimana suku sasak beramai-ramai menangkap nyale
di sepanjang pesisir pantai Lombok. Penduduk setempat percaya, bahwa
nyale bukan hanya cacing biasa tetapi makhluk suci yang membawa kesejahteraan.
Oleh karena itulah, mereka menghormatinyadan percaya akan mendatangkan
kemalangan bagi yang mengabaikannya.
Legenda
mengatakan bahwa pada masa lalu, hiduplah seorang putri cantik bernama Mandhalika.
Cerita tentang kecantikannya terkabar sampai ke setiap sudut pulau, sehingga
banyak pangeran jatuh cinta padanya dan sangat ingin menikahinya. Untuk
mendapatkannya, mereka menciptakan suatu pergolakan di seluruh pulau. Melihat
kejadian ini, sang putri sedih dan merindukan perdamaian di tanahnya.
Untuk mengakhiri kekacauan itu,
Putri Mandalika menenggelamkan dirinya ke laut. Saat pengikutnya mencoba
menemukan tubuhnya, mereka hanya menemukan cacing laut yang berlimpah yang
hingga saat ini dikenal sebagai nyale dan diyakini sebagai reinkarnasi Putri
Mandalika. Oleh karena itu, nyale yang muncul setiap tahun di pantai dianggap
sebagai putri cantik yang mengunjungi rakyatnya. Dalam upacara Bau Nyale ini penduduk
desa, pemerintah setempat, serta pengunjung berduyun-duyun ke pantai melebur
dalam tradisi kuno ini.
f. Sade
Sade merupakan sebuah dusun sekaligus sebagai desa adat di Lombok
yang terletak Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah tepatnya sekitar 5 km2
dari Bandara International Lombok (BIL) memiliki sebuah keteraturan adat yang
mana penduduk desa ini tetap mempertahankan kebudayaan sasak berupa rumah adat dan
bangunan lumbung padi adat sasak.
Bagian atap rumah adat Sasak berbentuk seperti gunungan, menukik
ke bawah dengan jarak 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah. Atap rumah itu
terbuat dari alangalang serta dindingnya dari bambu yang dianyam. Di bagian
dalam ada beberapa ruangan yang terbagi menjadi inan bale (ruang induk), m eliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem sebagai tempat
menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang persemayaman
jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan
bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan
peralatan rumah tangga lainnya), terbuat dari bambu berukuran 2 x 2 meter
persegi. Bentuk ruangan itu bisa pula empat persegi panjang. Di bale dalem juga
terdapat sesangkok atau ruang tamu dan pintu masuk dengan sistem geser.
Di
antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga dan lantainya berupa
campuran tanah dengan kotoran kerbau atau kuda, getah, dan abu jerami. Materi
pembuat lantai rumah itu tidak hanya berfungsi sebagai zat perekat, tetapi juga
untuk membuat lantai tidak lembap. Undak-undakan atau tangga digunakan sebagai
penghubung antara bale luar dan bale dalem.
Hal
lain yang cukup menarik dari rumah adat Sasak ialah pola pembangunannya. Dalam
membangun rumah, suku Sasak menyesuaikannya dengan kebutuhan keluarga serta
kelompok. Karena konsep itulah, kompleks perumahan adat Sasak tampak teratur
sesuai dengan penggambaran kehidupan penduduk setempat yang harmonis.
Konstruksi
rumah tradisional Sasak terkait pula dengan perspektif Islam. Anak tangga
sebanyak tiga buah merupakan simbol daur hidup manusia, yakni lahir,
berkembang, da n mati. Rumah orang
tua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu yang
berada di tingkat paling bawah. Hal itu menggambarkan ajaran budi pekerti bahwa
kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.
Sejak proses perencanaan pendirian rumah, kebutuhan kaum
perempuan atau istri selalu diutamakan. Hal itu tecermin dari pembuatan bambu
rangka atap yang disesuaikan dengan ukuran kepala istri. Begitu pun halnya
dengan tempat penyimpanan alat dapur yang tingginya harus bisa dicapai lengan
istri. Lebar pintu rumah dibuat pula sesuai dengan ukuran tubuh istri. Kebuyaan
dan pariwisata di Sade sejau ini masih berjalan beriringan.
Budaya
suku Sasak di Lombok tersebut di atas merupakan salah contoh kecil dari pengaruh
kehadiran pariwisata di suatu daerah, dimana dampak tersebut bisa positif
ataupun negative.
Dampak
negatifnya adalah jika terjadinya komodifikasi budaya secara penuh, dalam hal
ini akan sangat buruk sekali akibat yang ditimbulkanya sebab kebudayaan yang
ada itu tidak lagi asli melainkan hanya mementingkan kebutuhan tamu (wisatwan)
semata.
Namun
tentu saja memiliki dampak positif yaitu melestarikan budaya bangsa yang ada
hingga tidak hilang begitu saja termakan zaman namun tetap bisa dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Dalam hal ini tentu saja mengacu pada undang-undang
pariwisata No.10/2009 pasal 4 huruf (f) yaitu salah satu tujuan pariwisata
adalah memajukan kebudayaan yang artinya bahwa pariwasata budaya sangat
potensial dalam pembangunan parwisata berkelanjutan khususnya di Lombok.
V.
Penutup
Kesimpulan
Pariwisata Budaya merupakan salah satu pariwisata
alternative pengembangan pariwisata berkelanjutan. Oleh sebab itu kebudayaan
itu sangat perlu dijaga agar jati diri bangsa tetap terlihat, karena budaya
merupakan salah satu cermin atau identitas bangsa. Sementara itu pariwisata
merupakan salah satu kebutuhan manusia juga dimana setiap orang ingin
meluangkan waktunya untuk sekedar menikmati keindahan alam ataupun hiburan
lainnya.
Pariwisa dan budaya merupakan dua hal yang perlu
saling dukung keberadaanya. Hal ini bisa harmonis jika keduanya tidak saling
mendominasi, guna keberlanjutan sebuah destinasi wisata maupun kebudayaan
tersebut. Adapun yang diperlukan adalah pariwisata budaya bukan budaya
pariwisata. Karena salah satu tujuan kepariwisataan Indonesia adalah memajukan
kebudayaan sesuai yang tercantum pada pasal 4 hutuf (f) undang-undang
kepariwisataan No. 10 tahun 2009.
Lombok merupakan sebuah pulau kecil dengan ragam
budaya yang unik dank has, oleh sebab itu keberdaan pariwisata budaya sangat
diperlukan dan harus tetap dilestarikan sehingga bisa dipelajari ataupun dinikmati
oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang sehingga pembangunan
pariwisata .
Hal tersebut juga mengaju pada Undang-undang
Kepariwisataan No.10 tahun 2009 di atas dapat diambil beberapa kesimpulan
diantaranya adalah kegiatan pariwisata ini memberikan pengaruh terhadap
lingkungan sekitar baik itu pengaruh positif maupun pengaruh negatifnya.
Kebudayaan yang ada di Lombok merupakan salah satu
asset bangsa Indonesia yang harus dijaga keberadaanya dengan melibatkan
komponen baik pemerintah, stakeholder, tokoh adat, tokoh masyarakat serta
generasi muda dan salah satu bentuknya yaitu dengan pengembangan pariwisata
budaya. Sebab keberadaan pariwisata di Lombok tidak menutup kemungkinan
terjadinya degradasi budaya, oleh sebab itu untuk mengantisipasi dampak
tersebut maka perlu langkah-langkah kongkret.
Selain itu, kegiatan pariwisata ini juga membuat
pendapatan Pemda setempat meningkat sehingga daerah wisata ini perlu dijaga
kelestariannya dan keidahannya untuk lebih menarik para wisatawan khususnya
para wisatawan asing. Kegiatan pariwisata ini juga menimbulkan dampak negative
terhadap lingkungan sekitar khususnya masalah lunturnya nilai-nilai budaya
masyarakat setempat karena masyarakat cendrung meniru perilaku wisatawan asing
yang sebenarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya setempat.
Saran
Kegiatan kepariwisata
di Lombok Nusa Tenggara Barat hendaknya lebih mengedepankan kebudayaan lokal
termasuk di dalamnya adalah kearifan lokal mengingat dampat pariwisata terhadap kehidupan
social budaya dan ekonomi masyarakat sekitarnya cukup besar maka dalam hal ini
pemerintah tidak hanya memperhatikan dampak psitifnya saja tapi pemerintah juga
perlu mengambil langkah-langka bagaimana meminimalisir dampak ngatif yang
ditimbulkan agar undang-undang Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik sehingga pariwisata budaya bisa menuju pembanguanan
pariwisata berkelanjutan khususnya di pulau Lombok .
VI.
Daftar
Pustaka
Dinas Pariwisata
Seni dan Budaya, 2002, Profil Pariwisata Lombok Barat
(Data Base)
tahun 2002, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat
Salah Wahab, 1996.
Manajemen
Kepariwisataan, cetakan ketiga,
Paradnya
Paramita, Jakarta.
Sartika, Arinda
Cici, 2011. Pembangunan Pariwisata “Oceaneo Ecotourism”
pada Obyek
Wisata Gili Trawangan, Universitas Brawijaya.
Undag-undang
Kepariwisataan (Undang-undang R.I. No.10/2009).
Jakarta:
Harvarindo